Guru adalah profesi mulia. Akan tetapi, perjalanan para guru tak
semulus tujuannya. Ada banyak hambatan yang mereka hadapi dalam
menjalani profesinya. Sejumlah persoalan yang mencuat adalah keluhan
akan kesenjangan yang dialami guru yang mengajar di kota dan non
perkotaan, sulitnya memeroleh sertifikasi, tepatnya penyaluran dana
tunjangan, dan berbagai persoalan yang lebih kompleks yang dihadapi para
guru di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (daerah 3T).
Daerah 3T adalah daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia. Untuk daerah-daerah ini, masalah yang muncul seperti letak geografis dan minimnya sarana serta prasarana. Persoalan-persoalan ini menjadi hambatan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Potret pendidikan di perbatasan pun terkuak dalam diskusi “Mencari Solusi Problematika Pendidikan dan Guru di Perbatasan” yang digelar sejumlah anggota Komisi X, Jumat (25/11/2011), di Gedung DPR, Jakarta.
“Wajah” pendidikan perbatasan sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kota-kota besar, dan negara tetangga yang lokasinya memang tak begitu jauh dan sangat terlihat jelas.
Seorang guru SMAN Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Agustinus mengungkapkan, sekolah tempatnya mengajar hanya berjarak sekitar 100 meter dari batas negara Indonesia dan Malaysia.
Menurutnya, guru-guru yang berada di daerah tersebut harus menelan kenyataan yang kurang baik. Setiap harinya mereka harus menahan rasa “cemburu” ketika melihat negara tetangga memberikan jaminan yang lebih baik dan menjanjikan kepada para gurunya demi pembangunan pendidikan yang berkualitas.
“Negara tetangga jauh lebih baik dan menjanjikan. Sementara fasilitas yang kami terima sangat terbatas, buku penunjang yang minim, dan ada juga sekolah yang harus meminta listrik dari negara tetangga,” kata Agustinus, yang hadir dalam diskusi tersebut.
Ia menambahkan, dari sisi kesejahteraan, guru-guru di daerah perbatasan juga sangat memprihatinkan. Tunjangan yang diberikan oleh pemerintah melalui tunjangan profesi dan tunjangan khusus guru daerah perbatasan masih bias dan tidak jelas.
Agustinus menjelaskan, untuk sertifikasi tahun 2011, seluruh Kalimantan Barat mendapat alokasi 2146 orang. Dari jumlah tersebut, tidak semua guru di Kampas Hulu mendapatkan kesempatan sertifikasi karena hanya mendapat “jatah” 430 orang. Ketika ditanya alasannya kepada pemerintah pusat dan daerah, jawabannya tidak pernah memuaskan karena mereka saling melempar tanggung jawab.
“Di sana ada kesenjangan dan gejolak sosial. Di tujuh kecamatan ada beberapa sekolah yang tidak mendapatkan sama sekali,” ujarnya.
Di Kampas Hulu terdapat tiga kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yaitu Kecamatan Badau, Kecamatan Empana, dan Kecamatan Puring Kencana. Dan hanya ada satu SMA di tiga kecamatan tersebut.
“Maka tak heran jika ada anak-anak yang kemudian sekolah ke Malaysia. Selain menjanjikan, tamatan SMA di sana juga mendapatkan sertifikat life skill dan bisa kerja di Malaysia dengan gaji yang lumayan,” kata Agustinus.
Sumber : http://edukasi.kompas.com
Daerah 3T adalah daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia. Untuk daerah-daerah ini, masalah yang muncul seperti letak geografis dan minimnya sarana serta prasarana. Persoalan-persoalan ini menjadi hambatan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Potret pendidikan di perbatasan pun terkuak dalam diskusi “Mencari Solusi Problematika Pendidikan dan Guru di Perbatasan” yang digelar sejumlah anggota Komisi X, Jumat (25/11/2011), di Gedung DPR, Jakarta.
“Wajah” pendidikan perbatasan sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kota-kota besar, dan negara tetangga yang lokasinya memang tak begitu jauh dan sangat terlihat jelas.
Seorang guru SMAN Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Agustinus mengungkapkan, sekolah tempatnya mengajar hanya berjarak sekitar 100 meter dari batas negara Indonesia dan Malaysia.
Menurutnya, guru-guru yang berada di daerah tersebut harus menelan kenyataan yang kurang baik. Setiap harinya mereka harus menahan rasa “cemburu” ketika melihat negara tetangga memberikan jaminan yang lebih baik dan menjanjikan kepada para gurunya demi pembangunan pendidikan yang berkualitas.
“Negara tetangga jauh lebih baik dan menjanjikan. Sementara fasilitas yang kami terima sangat terbatas, buku penunjang yang minim, dan ada juga sekolah yang harus meminta listrik dari negara tetangga,” kata Agustinus, yang hadir dalam diskusi tersebut.
Ia menambahkan, dari sisi kesejahteraan, guru-guru di daerah perbatasan juga sangat memprihatinkan. Tunjangan yang diberikan oleh pemerintah melalui tunjangan profesi dan tunjangan khusus guru daerah perbatasan masih bias dan tidak jelas.
Agustinus menjelaskan, untuk sertifikasi tahun 2011, seluruh Kalimantan Barat mendapat alokasi 2146 orang. Dari jumlah tersebut, tidak semua guru di Kampas Hulu mendapatkan kesempatan sertifikasi karena hanya mendapat “jatah” 430 orang. Ketika ditanya alasannya kepada pemerintah pusat dan daerah, jawabannya tidak pernah memuaskan karena mereka saling melempar tanggung jawab.
“Di sana ada kesenjangan dan gejolak sosial. Di tujuh kecamatan ada beberapa sekolah yang tidak mendapatkan sama sekali,” ujarnya.
Di Kampas Hulu terdapat tiga kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yaitu Kecamatan Badau, Kecamatan Empana, dan Kecamatan Puring Kencana. Dan hanya ada satu SMA di tiga kecamatan tersebut.
“Maka tak heran jika ada anak-anak yang kemudian sekolah ke Malaysia. Selain menjanjikan, tamatan SMA di sana juga mendapatkan sertifikat life skill dan bisa kerja di Malaysia dengan gaji yang lumayan,” kata Agustinus.
Sumber : http://edukasi.kompas.com