Terkait Masalah Batas Laut RI-Australia Kompas (6/7/2011)
menuliskannya sebagai berikut: Tata batas Laut Timor dan Laut Australia
masih membingungkan nelayan di sepanjang pesisir selatan Nusa Tenggara
Timur. Banyak nelayan ditangkap dan ditahan Australia karena dianggap
melanggar batas wilayah perairan itu. Akan tetapi, menurut nelayan,
mereka berada di perairan Indonesia saat ditangkap. Status hukum batas
laut antara Indonesia dan Australia belum diratifikasi. Tahun 1997,
kedua negara melakukan perjanjian mengenai batas wilayah laut, tetapi
sampai hari ini perjanjian itu belum diratifikasi atau disahkan.
Dosen Hukum Internasional Universitas Nusa Cendana Kupang, Wellem Wetan Songa, di Kupang, Selasa (5/7), mengatakan, kedua negara sudah menetapkan batas zona ekonomi eksklusif, tetapi belum menentukan konsekuensi atas pelanggarannya. Ada beberapa titik batas dalam perjanjian itu yang belum disetujui kedua pihak sehingga proses ratifikasi tertunda sampai hari ini.
Meski demikian, dalam praktik pengamanan laut, Australia bertindak seakan-akan sudah memiliki tata batas laut secara permanen. Mereka sering menangkap nelayan tradisional yang mencari ikan di perairan itu dan memproses sesuai peraturan di negara itu.Batas Laut Timor sendiri pun masih kabur bagi nelayan Indonesia. Ketentuan tata batas laut suatu wilayah harus 400 mil dari garis pantai, tetapi Laut Timor tidak mencapai angka itu.
Pulau Pasir
Australia memiliki Pulau Pasir yang terletak sekitar 180 km dari Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, juga jadi persoalan tersendiri, apalagi mereka menetapkan pulau itu sebagai kawasan yang dilindungi. Dengan demikian, nelayan Indonesia yang menangkap ikan di sekitar perairan Pulau Pasir selalu ditangkap Australia dengan alasan melanggar batas wilayah Australia.
Ketua Himpunan Masyarakat Pesisir Selatan NTT Hamsah Ali mengatakan, dalam pertemuan dengan sejumlah nelayan, terungkap bahwa kerugian yang diderita nelayan akibat penghancuran kapal nelayan oleh aparat keamanan Australia (2007-2009) Rp 50 juta-Rp 100 juta per kapal atau Rp 1 miliar-Rp 30 miliar untuk 20-30 kapal nelayan yang dihancurkan.
”Kapal-kapal itu kami beli dengan harga Rp 50 juta-Rp 100 juta per unit. Sebagian besar kapal masih dalam status kredit dari sesama nelayan atau dari bank. Satu kapal mempekerjakan 5-10 nelayan. Mereka menggantungkan nasib pada kapal itu, tetapi setelah dihancurkan sehingga banyak nelayan menjadi penganggur. Nelayan pun terlilit utang sampai hari ini,” kata Ali.
Sampai saat ini masih ada ratusan nelayan yang ditahan di Australia, dengan alasan melanggar perairan Australia.Direktur Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanone mengatakan, Pemerintah Indonesia dan Australia mengabaikan sejumlah persoalan mengenai batas laut kedua negara. (kor)
Fakta Yang Ada
Batas Maritim Indonesia – Australia.
Di dasar laut di luar Laut Wilayah, Indonesia juga mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam yang terkandung didalammya baik terhadap jenis-jenis perikanan yang berada di dasar laut (“sedentary species”), maupun terhadap migas ataupun mineral lainnya. Dahulu, sesuai dengan Konvensi Jenewa tahun 1958, hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di landas kontinen/didasar laut tersebut hanyalah sampai kedalaman air 200 Meter. Tetapi kini dengan UNCLOS 1982, hak-hak berdaulat tersebut diakui sampai kelanjutan alamiah wilayah darat tersebut kedasar laut (“continental margin”), dan karena itu bisa mencapai 100 Mil diluar kedalaman air 2500 Meter ataupun sampai 60 Mil dari “kaki kontinen” (“foot of the continental slope”). Hal ini berarti bahwa dalam hal-hal tertentu ke Samudera luas, hak-hak berdaulat Indonesia atas kekayaan alam di dasar laut tersebut bisa mencapai jarak sampai 350 Mil dari garis pangkal Nusantara, yaitu sampai ke batas Dasar Laut International yang dikelola oleh Badan Dasar Laut International (International Seabed Authority) yang berkedudukan di Jamaica.
Hal ini tergantung dari keadaan alamiah dan struktur geologis di dasar laut tersebut. Menurut UNCLOS 1982 Indonesia dapat mengajukan klaim atas dasar laut di luar batas 200 Mil dari perairan kepulauan Indonesia kepada Continental Shelf Commission (CSC) di New York disertai bukti-bukti/hasil-hasil penelitian tentang kelanjutan alamiah pulau-pulau Indonesia ke dasar Samudera tersebut. Klaim dapat diajukan menjelang 16 November 2009, disertai garis terluar dari batas continental margin Indonesia. Sampai sekarang Indonesia belum lagi mengajukan klaim tersebut karena belum selesai melakukan penelitiannya.
Sampai sekarang Indonesia telah mempunyai perbatasan “continental shelf” dasar laut ini dengan India (antara Andaman dan Aceh), dengan Thailand dan Malaysia di bagian utara Selat Malaka, dengan Malaysia dan Vietnam di Laut China Selatan, dengan Papua New Guinea di utara Papua, dan dengan Papua New Guinea dan Australia di Laut Arafura dan di sebagian Laut Timor. Belum ada kesepakatan batas dasar laut antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan Timur, dan hal ini telah dan akan selalu menimbulkan kerawanan-kerawanan dalam hubungan Indonesia dan Malaysia seperti terlihat dalam kasus Unarang dan Ambalat. Juga belum ada perjanjian/kesepakatan perbatasan maritime antara Indonesia dan Filipina.
Perlu pula dicatat bahwa Zona Berdekatan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen, bukanlah bagian laut yang berada dalam Wilayah Kedaulatan Indonesia, tetapi adalah kawasan laut dimana Indonesia menurut hukum mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alamnya dan berwenang melaksanakan kewenangan-kewenangan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional. Berlainan dengan kawasan laut yang berada di bawah kedaulatan Indonesia, di kawasan laut yang termasuk dalam Zona Berdekatan, ZEE dan Landas Kontinen terdapat kebebasan berlayar, terbang diatasnya dan kebebasan-kebebasan lainnya yang diatur di dalan Konvensi Hukum Laut 1982, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 17/1985. Dengan haknya atas kekayaan alam di ZEE dan Landas Kontinen, maka luas kekayaan alam di laut yang kini berada dalam hak-hak kedaulatan Indonesia telah bertambah lagi dengan kira-kira 3 juta km², yang dengan demikian berarti bahwa Indonesia berhak atas kekayaan alam seluas kira-kira 6 juta km² di laut-laut antara dan sekitar kepulauannya.
Memperhatikan berbagai hal terkait perbatasan maka memang terdapat kerawanan-kerawanan di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, misalnya:
Pertama, tidak jelasnya perbatasan dilapangan termasuk di darat, walaupun telah ada perjanjian perbatasan mengenai hal itu. Di darat hal ini telah menimbulkan masalah lintas batas antara penduduk perbatasan, yang kemudian diperhebat dengan masalah penyelundupan, illegal entry, penyusupan unsur-unsur teroris, perpindahan patok-patok perbatasan, pencurian kekayaan alam, dan lain-lain. Untuk mengatasi hal ini kiranya diperlukan hubungan dan kerjasama yang baik antara petugas perbatasan di kedua negara, sambil meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peralatan, sumber daya manusia, dan organisasi/koordinasi kegiatan di daerah perbatasan antara pejabat-pejabat perbatasan yang bersangkutan.
Kedua, di laut masalah transit dan hak lewat kapal-kapal asing melalui laut-laut Indonesia yang begitu luas, baik yang lewat berdasarkan prinsip “innocent passage”, maupun ASP melalui ALKI, adalah sangat rawan karena kurangnya kemampuan monitoring dan pengawasan terhadap kapal-kapal perang maupun kapal terbang militer asing melalui ALKI-ALKI Indonesia, baik monitoring melalui radar maupun satelit, serta kemampuan pengamanan dan pertahanan di ALKI-ALKI tersebut yang dapat membawa kerawanan-kerawanan tertentu bagi Indonesia. Kerawanan tersebut akan berlipat ganda di daerah-daerah yang biasa di pakai buat pelayaran Internasional, jika ALKI belum ditetapkan. Karena itu tidak ada jalan lain bagi Indonesia untuk mengamankan perbatasannya kecuali meningkatkan kemampuan pengamanan dan pertahanannya yang kini sangat tidak sebanding dengan luasnya kawasan laut (6 juta km²) dan udara Indonesia (5 juta km²) yang harus diamankan dan dipertahankan.
Ketiga, kekayaan alam Indonesia di laut terutama perikanan banyak yang di jarah, dan dirusak, baik melalui pencurian-pencurian ikan ataupun praktek-praktek penangkapan ikan yang bertentangan dengan hukum seperti penggunaan bom ataupun sianida. Disamping itu berbagai-bagai kejahatan di laut semakin marak seperti pencurian benda-benda sejarah dan cultural (“harta karun”) di kapal-kapal yang karam, penyelundupan, termasuk penyelundupan BBM, imigrasi gelap, terrorisme, bajak laut dan perombakan, illegal logging dan lain-lain yang semuanya memerlukan peningkatan penegakan hukum dan pertahanan negara.
Keempat, perlu benar kiranya disadari bahwa perbatasan Indonesia, baik darat, laut, maupun udara termasuk yang sangat rawan dan sensitive di dunia, yang memerlukan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah baik Pusat dan Daerah, DPR dan DPRD, maupun dari segenap lapisan masyarakat, terutama karena:
Letak Indonesia yang secara geopraphis dipersimpangan jalan yang ramai dilewati antara Samudera Pasific dan Samudera Hindia dan antara Benua Asia dan Australia, Baik oleh kapal dagang biasa, tanker-tanker raksasa. Kapal-kapal yang membawa muatan-muatan berbahaya/nuklir, maupun kapal-kapal perang, termasuk kapal-kapal selam, dan kapal-kapal terbang militer asing.
Struktur negerinya yang berbentuk kepulauan dengan garis pantai termasuk terpanjang di dunia di kawasan laut seluas kira-kira 8 juta km² dari permukaan bumi, serta yang di huni oleh penduduk yang tidak merata, dan multi-etnis. Demikian pula halnya dengan batas darat yang juga “poros” terutama di daerah-daerah pegunungan dan hutan yang tidak mudah menentukan batasnya yang pasti di lapangan.
(Cuplikan dari tulisan Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA Menentukan Batas Negara guna meningkatkan pengawasan, penegakkan hukum dan kedaulatan NKRI, Surabaya, 11 November 2005)
sumber : http://www.wilayahperbatasan.com/batas-laut-ri-australia-membingungkan-para-nelayan
Dosen Hukum Internasional Universitas Nusa Cendana Kupang, Wellem Wetan Songa, di Kupang, Selasa (5/7), mengatakan, kedua negara sudah menetapkan batas zona ekonomi eksklusif, tetapi belum menentukan konsekuensi atas pelanggarannya. Ada beberapa titik batas dalam perjanjian itu yang belum disetujui kedua pihak sehingga proses ratifikasi tertunda sampai hari ini.
Meski demikian, dalam praktik pengamanan laut, Australia bertindak seakan-akan sudah memiliki tata batas laut secara permanen. Mereka sering menangkap nelayan tradisional yang mencari ikan di perairan itu dan memproses sesuai peraturan di negara itu.Batas Laut Timor sendiri pun masih kabur bagi nelayan Indonesia. Ketentuan tata batas laut suatu wilayah harus 400 mil dari garis pantai, tetapi Laut Timor tidak mencapai angka itu.
Pulau Pasir
Australia memiliki Pulau Pasir yang terletak sekitar 180 km dari Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, juga jadi persoalan tersendiri, apalagi mereka menetapkan pulau itu sebagai kawasan yang dilindungi. Dengan demikian, nelayan Indonesia yang menangkap ikan di sekitar perairan Pulau Pasir selalu ditangkap Australia dengan alasan melanggar batas wilayah Australia.
Ketua Himpunan Masyarakat Pesisir Selatan NTT Hamsah Ali mengatakan, dalam pertemuan dengan sejumlah nelayan, terungkap bahwa kerugian yang diderita nelayan akibat penghancuran kapal nelayan oleh aparat keamanan Australia (2007-2009) Rp 50 juta-Rp 100 juta per kapal atau Rp 1 miliar-Rp 30 miliar untuk 20-30 kapal nelayan yang dihancurkan.
”Kapal-kapal itu kami beli dengan harga Rp 50 juta-Rp 100 juta per unit. Sebagian besar kapal masih dalam status kredit dari sesama nelayan atau dari bank. Satu kapal mempekerjakan 5-10 nelayan. Mereka menggantungkan nasib pada kapal itu, tetapi setelah dihancurkan sehingga banyak nelayan menjadi penganggur. Nelayan pun terlilit utang sampai hari ini,” kata Ali.
Sampai saat ini masih ada ratusan nelayan yang ditahan di Australia, dengan alasan melanggar perairan Australia.Direktur Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanone mengatakan, Pemerintah Indonesia dan Australia mengabaikan sejumlah persoalan mengenai batas laut kedua negara. (kor)
Fakta Yang Ada
Batas Maritim Indonesia – Australia.
- Perairan antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah yang sangat luas, terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya.
- Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas laut yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor Leste – Australia.
- Secara Garis besar perjanjian batas maritim Indonesia – Australia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
- Perjanjian perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
- Perjanjian perbatasan pada tanggal 9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
- Perjanjian perbatasan maritim pada tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia Australia dari perairan selatan P.Jawa termasuk perbatasan maritim di P.Ashmore dan P.Chrismas.
- Pada tanggal 9 September 1989 telah disetujui pembagian Timor Gap yang dibagi menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif mulai tanggal 9 Februari 1991, perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor Leste maka perjanjian ini secara otomatis menjadi batal.
Landas Kontinen
Di dasar laut di luar Laut Wilayah, Indonesia juga mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam yang terkandung didalammya baik terhadap jenis-jenis perikanan yang berada di dasar laut (“sedentary species”), maupun terhadap migas ataupun mineral lainnya. Dahulu, sesuai dengan Konvensi Jenewa tahun 1958, hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di landas kontinen/didasar laut tersebut hanyalah sampai kedalaman air 200 Meter. Tetapi kini dengan UNCLOS 1982, hak-hak berdaulat tersebut diakui sampai kelanjutan alamiah wilayah darat tersebut kedasar laut (“continental margin”), dan karena itu bisa mencapai 100 Mil diluar kedalaman air 2500 Meter ataupun sampai 60 Mil dari “kaki kontinen” (“foot of the continental slope”). Hal ini berarti bahwa dalam hal-hal tertentu ke Samudera luas, hak-hak berdaulat Indonesia atas kekayaan alam di dasar laut tersebut bisa mencapai jarak sampai 350 Mil dari garis pangkal Nusantara, yaitu sampai ke batas Dasar Laut International yang dikelola oleh Badan Dasar Laut International (International Seabed Authority) yang berkedudukan di Jamaica.
Hal ini tergantung dari keadaan alamiah dan struktur geologis di dasar laut tersebut. Menurut UNCLOS 1982 Indonesia dapat mengajukan klaim atas dasar laut di luar batas 200 Mil dari perairan kepulauan Indonesia kepada Continental Shelf Commission (CSC) di New York disertai bukti-bukti/hasil-hasil penelitian tentang kelanjutan alamiah pulau-pulau Indonesia ke dasar Samudera tersebut. Klaim dapat diajukan menjelang 16 November 2009, disertai garis terluar dari batas continental margin Indonesia. Sampai sekarang Indonesia belum lagi mengajukan klaim tersebut karena belum selesai melakukan penelitiannya.
Sampai sekarang Indonesia telah mempunyai perbatasan “continental shelf” dasar laut ini dengan India (antara Andaman dan Aceh), dengan Thailand dan Malaysia di bagian utara Selat Malaka, dengan Malaysia dan Vietnam di Laut China Selatan, dengan Papua New Guinea di utara Papua, dan dengan Papua New Guinea dan Australia di Laut Arafura dan di sebagian Laut Timor. Belum ada kesepakatan batas dasar laut antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan Timur, dan hal ini telah dan akan selalu menimbulkan kerawanan-kerawanan dalam hubungan Indonesia dan Malaysia seperti terlihat dalam kasus Unarang dan Ambalat. Juga belum ada perjanjian/kesepakatan perbatasan maritime antara Indonesia dan Filipina.
Perlu pula dicatat bahwa Zona Berdekatan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen, bukanlah bagian laut yang berada dalam Wilayah Kedaulatan Indonesia, tetapi adalah kawasan laut dimana Indonesia menurut hukum mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alamnya dan berwenang melaksanakan kewenangan-kewenangan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional. Berlainan dengan kawasan laut yang berada di bawah kedaulatan Indonesia, di kawasan laut yang termasuk dalam Zona Berdekatan, ZEE dan Landas Kontinen terdapat kebebasan berlayar, terbang diatasnya dan kebebasan-kebebasan lainnya yang diatur di dalan Konvensi Hukum Laut 1982, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 17/1985. Dengan haknya atas kekayaan alam di ZEE dan Landas Kontinen, maka luas kekayaan alam di laut yang kini berada dalam hak-hak kedaulatan Indonesia telah bertambah lagi dengan kira-kira 3 juta km², yang dengan demikian berarti bahwa Indonesia berhak atas kekayaan alam seluas kira-kira 6 juta km² di laut-laut antara dan sekitar kepulauannya.
Kerawanan-kerawanan
Memperhatikan berbagai hal terkait perbatasan maka memang terdapat kerawanan-kerawanan di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, misalnya:
Pertama, tidak jelasnya perbatasan dilapangan termasuk di darat, walaupun telah ada perjanjian perbatasan mengenai hal itu. Di darat hal ini telah menimbulkan masalah lintas batas antara penduduk perbatasan, yang kemudian diperhebat dengan masalah penyelundupan, illegal entry, penyusupan unsur-unsur teroris, perpindahan patok-patok perbatasan, pencurian kekayaan alam, dan lain-lain. Untuk mengatasi hal ini kiranya diperlukan hubungan dan kerjasama yang baik antara petugas perbatasan di kedua negara, sambil meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peralatan, sumber daya manusia, dan organisasi/koordinasi kegiatan di daerah perbatasan antara pejabat-pejabat perbatasan yang bersangkutan.
Kedua, di laut masalah transit dan hak lewat kapal-kapal asing melalui laut-laut Indonesia yang begitu luas, baik yang lewat berdasarkan prinsip “innocent passage”, maupun ASP melalui ALKI, adalah sangat rawan karena kurangnya kemampuan monitoring dan pengawasan terhadap kapal-kapal perang maupun kapal terbang militer asing melalui ALKI-ALKI Indonesia, baik monitoring melalui radar maupun satelit, serta kemampuan pengamanan dan pertahanan di ALKI-ALKI tersebut yang dapat membawa kerawanan-kerawanan tertentu bagi Indonesia. Kerawanan tersebut akan berlipat ganda di daerah-daerah yang biasa di pakai buat pelayaran Internasional, jika ALKI belum ditetapkan. Karena itu tidak ada jalan lain bagi Indonesia untuk mengamankan perbatasannya kecuali meningkatkan kemampuan pengamanan dan pertahanannya yang kini sangat tidak sebanding dengan luasnya kawasan laut (6 juta km²) dan udara Indonesia (5 juta km²) yang harus diamankan dan dipertahankan.
Ketiga, kekayaan alam Indonesia di laut terutama perikanan banyak yang di jarah, dan dirusak, baik melalui pencurian-pencurian ikan ataupun praktek-praktek penangkapan ikan yang bertentangan dengan hukum seperti penggunaan bom ataupun sianida. Disamping itu berbagai-bagai kejahatan di laut semakin marak seperti pencurian benda-benda sejarah dan cultural (“harta karun”) di kapal-kapal yang karam, penyelundupan, termasuk penyelundupan BBM, imigrasi gelap, terrorisme, bajak laut dan perombakan, illegal logging dan lain-lain yang semuanya memerlukan peningkatan penegakan hukum dan pertahanan negara.
Keempat, perlu benar kiranya disadari bahwa perbatasan Indonesia, baik darat, laut, maupun udara termasuk yang sangat rawan dan sensitive di dunia, yang memerlukan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah baik Pusat dan Daerah, DPR dan DPRD, maupun dari segenap lapisan masyarakat, terutama karena:
Letak Indonesia yang secara geopraphis dipersimpangan jalan yang ramai dilewati antara Samudera Pasific dan Samudera Hindia dan antara Benua Asia dan Australia, Baik oleh kapal dagang biasa, tanker-tanker raksasa. Kapal-kapal yang membawa muatan-muatan berbahaya/nuklir, maupun kapal-kapal perang, termasuk kapal-kapal selam, dan kapal-kapal terbang militer asing.
Struktur negerinya yang berbentuk kepulauan dengan garis pantai termasuk terpanjang di dunia di kawasan laut seluas kira-kira 8 juta km² dari permukaan bumi, serta yang di huni oleh penduduk yang tidak merata, dan multi-etnis. Demikian pula halnya dengan batas darat yang juga “poros” terutama di daerah-daerah pegunungan dan hutan yang tidak mudah menentukan batasnya yang pasti di lapangan.
(Cuplikan dari tulisan Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA Menentukan Batas Negara guna meningkatkan pengawasan, penegakkan hukum dan kedaulatan NKRI, Surabaya, 11 November 2005)
sumber : http://www.wilayahperbatasan.com/batas-laut-ri-australia-membingungkan-para-nelayan