Adaptasi terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di KTI

Pulau-pulau Kecil adalah Kedaulatan Bangsa
Masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh dampak dari dari perubahan pada lingkungan akibat perubahan pola-pola cuaca dan iklim, karena mereka sangat bergantung pada hasil alam. Ancaman kenaikan permukaan air laut atau ketidakpastian musim tanam akibat cuaca tidak menentu berpengaruh langsung ke penghidupan keluarga. Namun demikian masyarakat ini juga telah adalah kelompok yang memiliki kearifan lokal dan motivasi yang paling kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Demikian hasil resume yang dibacakan oleh Armi Susandi, Pokja Adaptasi Perubahan Iklim dari DNPI. Resume ini adalah hasil dari Diskusi Regional Forum KawasanTimur Indonesia (Forum KTI) Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil Di kawasan Timur Indonesia yang berlangsung di Sengigi, Lombok Barat, NTB.
Jika mengacu pada hasil talkshow yang digelar di acara tersebut dengan menghadirkan narasumber berkompeten terkait tema diskusi, sangat jelas, pulau-pulau terkecil di Indonesia masih jauh dalam perhatian negara,  bukan saja pada eksistensi keberadaannya tetapi juga pada kehidupan masyarakat yang tinggal di sana.  Orang Pulau demikian sebutan bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil di Indonesia, akan sangat identik dengan ketertinggalan dalam pembangunan, kesejahteraan yang minim, akses yang sulit dijangkau, dan resiko keselamatan hidup yang rawan. ”Alasannya bisa saja karena akses yang jauh dan keterbatasan negara dalam memantau keberadaan dan kondisi pulau-pulau kecil kita. Sehingga yang terjadi, pengawasan dan perhatian terhadap kawasan itu tidak maksimal. Padahal pulau-pulau kecil Indonesia adalah bagian dari negara ini, dan banyak penduduknya di sana hidup dalam kemiskinan,” ungkap Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian dan juga sebagai Steering Committee dalam Diskusi Regional FKTI (Forum Kawasan Timur Indonesia, dalam sebuah wawancara setelah rehat acara talkshow.
Dalam sebuah kesempatan talkshow dengan tema, “Pencarian alternative penghidupan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil,” Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad, mengungkapkan, sebanyak 7,8 juta jiwa yang bermukim di 10.639 desa pesisir atau 23% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia masuk kategori warga miskin yang berpenghasilan hanya 1 dolar AS per hari. Hal ini menjadi nilai tambah kerentanan lainnya yang harus dihadapi keseharian masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir.

“Selain masalah kemiskinan, di pulau-pulau kecil dan pesisir juga identik dengan tingginya kerusakan sumber daya alam, rendahnya kemandirian organisasi soasial desa, serta rendahnya infrastruktur desa juga kesehatan lingkungan di pemukiman. Sehingga ini semakin memperparah kerentanan mereka,” tambah Sudirman.
Dia memberikan contoh, karena terdesaknya kebutuhan hidup yang harus dihadapi masyarakat yang tinggal di lingkungan seperti ini, sejumlah perusakan terhadap hutan mangrove dan juga perusakan terumbu karang yang dilakukan masyarakat memperburuk kondisi alam mereka. Namun dia juga mengakui, salah urus dan kebijakan yang tepat juga menjadi soal utama rusaknya ekologis yang sering dihadapi pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia.

“Kejadian bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 misalnya, kita baru disadarkan betapa berartinya mangrove bagi keselamatan masyarakat kita yang hidup di pulau-pulau dan pesisir ketika harus menghadapi gelombang besar. Masyarakat yang tinggal dengan mangrove yang masih bagus, korbannya tidak banyak jika dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mempunyai mangrove. Tapi ini hanya salah satu contoh, tentang kondisi yang terjadi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,” tandas Sudirman.
Berdasarakan fakta tersebut, Sudirman selaku Dirjen KP3K mengaku telah berupaya menginisiasi suatu program inovatif  dalam mengurangi kerentanannya yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). PDPT diharapkan bisa menata dan meningkatkan kehidupan desa pesisir/nelayan berbasis masyarakat. Dalam data DKP disebutkan, sasarannya adalah 6.639 Desa pesisir, 16 cluster desa dengan kriteria mempunyai potensi lokal unggul, mempunyai kondisi lingkungan permukiman kumuh, terjadi degradasi lingkungan permukiman kumuh, rawan bencana dan perubahan iklim. PDPT akan lebih mefokuskan diri pada coastal village community dimana partisipasi komunitas desa pesisirlah yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan program ini.

Bisa jadi DKP telah melakukan sesuatu untuk kesejahteraan dan kedaulatan bagi pulau-pulau kecil untuk Indonesia, namun masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, meski tidak banyak, jauh sebelumnya sudah  melakukan berbagai upaya dalam mempertahankan hidupnya yang lebih baik.   Termasuk mencari alternatif ekonomi lebih dari satu. Menurut Program Director Locally Managed Marine Area (LMMA) Indonesia Cliff Marlessy, seperti yang dilansir Koran Kompas (18/10/2011), disebutkan, dalam menghadapi dampak perubahan iklim, masyarakat pulau kecil yang terisolasi dengan pulau besar akan berbahaya jika hanya mengandalkan satu sumber ekonomi. Sebab, ketika satu sumber itu gagal, tidak ada lagi yang bisa mereka harapkan, sementara daerah mereka terisolasi. Pemerintah seharusnya bisa mendorong upaya ini lebih baik lagi.

Karena sebagai masyarakat yang tinggal di kepulauan saat ini, sangat sulit hanya mengandalkan penghidupan dengan mencari ikan di laut. Ketika musim air gelombang pasang dan badai datang, ini akan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan dan ekonomi masyarakat tersebut. Cliff juga memberikan contoh yang telah ditunjukkan masyarakat Pulau Tanimbar Kei, di Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, dapat hidup mandiri secara ekonomi, dan mereka juga mempunyai ketahanan pangan yang baik, karena mereka mempunyai tujuh sumber ekonomi, yakni ikan, kopra, tripang, sirip hiu, sejenis kerang-kerangan, yakni lola dan abalone, serta rumput laut.

Data BaKTI menyebutkan, sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km,  Indonesia memang merupakan salah satu negara di dunia yang akan mengalami dampak serius dari perubahan iklim global ini. Berdasarkan catatan stasiun pasang surut di KTI khususnya Kupang, Biak dan Sorong maka elevasiparas muka air laut di kawasan tersebut meningkat sejak tahun 1990 hingga kini. Dalam periode 2005-2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Dari jumlah pulau tersebut 3 pulau di Papua dan satu pulau di Sulawesi Selatan. Dengan peningkatan 8-30 cm permukaan laut, diprediksikan Indonesia akan kehilangan 2000 pulau kecil pada tahun 2030.

Sementara Alex juga mengatakan bahwa memberikan nama atas pulau-pulau kecil terluar di Indonesia juga sangat penting. Karena dengan demikian konsukuensinya pemerintah bisa tahu, bahwa Indonesia juga termasuki pulau-pulau kecil yang berpenghuni dan tidak berpenghuni itu adalah status kedaulatan negara. Kini ada 92 pulau telah diberi tanda kedaulatan dengan simbol Patung Soekarno Hatta melalui ekspedisi Garis Depan Nusantara.

Tawaran dan solusi untuk tantangan pembangunan yang terkait dengan adaptasi, yaitu :
1.    Perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, dengan tidak melupakan kearifan lokal. Kebijakan yang diimplementasikan hendaknya berpihak kepada masyarakat pesisir serta memastikan adanya sinergi antara program dan anggaran pemerintah, lembaga mitra internasional serta masyarakat.
2.    Mendorong pulau‐pulau yang berdekatan untuk bekerja sama dan saling menguatkan, dengan mengandalkan produk dan kelebihan komparatif yang dimiliki oleh masing‐masing pulau. Kerjasama ini merupakan permulaan dari gerakan kemandirian pulau yang diharapkan mendorong pulau‐pulau lain untuk melakukan hal serupa.
3.    Kerawanan pangan hendaknya dilihat tidak hanya dengan menekankan pada beras sebagai satusatunya komoditi pangan, tapi mendorong konsumsi komoditi‐komoditi pangan lain yang sesuai dengan budaya, sejarah dan kondisi alam setempat.
4.     Mendorong promosi dan replikasi 12 inisiatif cerdas yang diangkat lewat Diskusi Regional ini, yang merupakan tawaran solusi untuk tantangan di bidang penyediaan air bersih, penyediaan listrik, ketahanan pangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil serta pendidikan lingkungan hidup, ke berbagai wilayah Kawasan Timur Indonesia dan tingkat nasional.
5.    Mendukung rencana strategi nasional untuk pembangunan di kawasan daerah tertinggal, pesisir, dan pulau‐pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, melalui upaya‐upaya adaptasi yang diangkat dalam Diskusi Regional ini.


Mereka yang Berjuang Sendiri untuk Adaptasi Perubahan Iklim
“Saya tidak menyangka, ternyata alang-alang liar yang sering saya lihat di Maluku bahkan di samping halaman rumah saya adalah sorgum yang bisa dikonsumsi, dan gizinya bernilai tinggi. Ini sesuatu yang baru dan berarti buat daerah saya,”  ujar Dr. Hesina Johana Huliselan, salah satu peserta Diskusi Regional FKTI (Forum KawasanTimur Indonesia) dengan tema, “Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di (KTI) KawasanTimur Indonesia, yang berlangsung pada 17-18 Oktober, di Senggigi, Lombok Barat, NTB (Nusa Tenggara Barat).

Hesina adalah  satu dari 144 peserta di wilayah 12 provinsi timur Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut. Dia merupakan peserta dari kalangan akademisi, anggota Pokja pengembangan pembangunan KTI, dan pejabat pemerintah Maluku (Sekda Maluku),  yang mengikuti sesi diskusi paralel di acara tersebut. Dalam diskusi, beberapa tema yang mengedepankan upaya adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat digulirkan. Salah satu sesi diskusi yang diikuti Hesina tentang, “Sorgum bergizi, sorgum berduit,” yang dilakukan oleh Maria Loretha, 42, petani asal NTT. Hadirnya Tata, demikian sapaan akrab Maria Loretha, dalam ruang tersebut cukup memberikan inspirasi bagi  sejumlah peserta lainnya yang mempunyai kondisi alam di wilayahnya kurang lebih sama dengan di NTT. Termasuk Maluku, dimana Hesina tinggal.
“Saya pikir ini akan bagus jika dikembangkan lebih baik lagi di Maluku. Karena dalam penjelasan ibu Maria tadi, tanaman ini cukup tahan terhadap perubahan iklim. Bagus untuk memikirkan ketahanan pangan kita berikutnya,” jelas Hesina.

Ini hanyalah salah satu respon positif yang mencuat dalam rangkaian diskusi paralel yang disebut oleh Erna Witoelar, Anggota Dewan Penasihat BaKTI, selaku tuan rumah penyelenggara acara ini, sebagai development market place (bursa pembangunan).  Dalam konferensi Pers yang dilakukan menjelang acara tersebut, Erna menjelaskan arti diadakannya bursa pembangunan sebagai wadah mempertemukan para pihak, yaitu masyarakat, akademisi, pemerintah terkait, LSM dan praktisi isu perubahan iklim. Sehingga dari forum ini memunculkan sisi penawaran dan sisi permintaan dari berbagai bidang terkait adaptasi di pulau-pulau kecil dan pesisir.

“Memang kegiatan yang berlangsung dua hari ini tidak langsung menjawab persoalan yang begitu kompleks, tapi dengan berdiskusi, bertemu, mudah-mudahan bisa menghasilkan keputusan dan kerjasama yang konkret di antara mereka pada berikutnya,” jelas Erna.

Senada juga diungkapkan Ketua Dewan Pembina Yayasan BaKTI, Willy Toisuta. Diskusi regional ini tidak hanya memperlihatkan duduk soal dampak perubahan iklim yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil, tetapi juga untuk membahas mata pencaharian alternatif sebagai bentuk adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim. Mendengarkan pengalaman masyarakat yang terkena dampak menjadi lebih penting dan diharapkan bias mudah dipahami.
“Dari sini, kami berharap pemerintah dan lembaga terkait yang peduli terhadap dampak perubahan iklim masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir bisa mencari dan menyusun strategi nasional dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan, serta percepatan pembangunan di pulau-pulau kecil,” jelas Willy.

Lebih dari itu, semua pihak bisa melihat dengan jelas duduk persoalan perubahan iklim secara umum terutama dampaknya bagi kehidupan masyarakat, dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dilakukan masyarakat di pulau-pulau kecil.

“Masyarakat kita yang berada di pulau-pulau kecil atau pesisir adalah  objek yang dekat dengan perubahan iklim. Mereka  perlu sentuhan informasi, pengetahuan dan pemahaman terhadap perubahan iklim yang ada. Sebagian dari mereka telah mempunyai upaya sendiri dalam mengatasinya dengan kearifan lokal yang dimiliki, namun itu pun belum cukup, jika tidak ada pengetahuan dan akses informasi yang memadai dalam mendukung kegiatan mereka. Diskusi regional ini jelas strategis bagi peserta untuk bisa saling berkomunikasi dan merespon,”tambah Erna yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan ini.
Kegiatan diskusi regional FKTI ini sudah kali keduanya, dihadiri unsur pemerintah, aktivisi LSM, akademisi, dan mitra donor pembangunan. Acara ini  diselenggarakan oleh  Yayasan BaKTI dengan dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, KOMPAS, dan beberapa mitra pembangunan internasional.

Dari Sorgum hingga air laut menjadi tawar
Contoh budi daya sorgum yang dilakukan Tata seperti menyentak sebagian peserta tentang arti makanan lokal bagi ketahanan pangan di suatu wilayah. Kehadiran Tata juga menjelaskan tentang sesuatu yang telah lama ditinggalkan dalam budaya bertani di wilayah NTT, yang kini dikenal sebagai provinsi yang mempunyai tingkat kerawanan pangan tinggi tersebut. Dalam sebuah wawancara di sela rehat acara diskusi, Tata menjelaskan, betapa sulitnya dia mendapatkan bibit sorgum (Sorghum spp). Sorgum adalah sejenis gandum atau padi-padian, yang sesungguhnya tanaman lokal di NTT. Dulunya tanaman ini sangat mudah ditemukan di ladang-ladang petani, namun kini sorgum telah menjadi tanaman langka dan jarang dikonsumsi lagi oleh masyarakat NTT. Bahkan, Maria perlu “berjuang” lama dalam mendapatkan jenis bibit sorgum sebelum membudidayakannya dengan tekun di areal miliknya seluas 6 Ha, di desa terpencil Pajinian-Adonara Barat, Flores Timur.

“Perkenalan saya terhadap sorgum itu di tahun 2007, saat tetangga saya mengantarkan bolu kukus sorgum. Rasanya enak dan gurih.  Saya bertanyalah, kuenya dibuat dari apa, ketika dijelaskan kue itu berasal dari sorgum, saya tidak mengetahuinya dengan baik. Saya pun, meminta tetangga saya memberikan bibitnya untuk saya tanam. Tapi itu sangat sedikit, tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi keluarga saya. Saya pun mulai mencarinya di tetangga-tetangga saya. Sejak itu saya tahu, ternyata dulu di NTT para petani suka menanaman dan mengkonsumsinya. Banyak warga NTT mengkonsumsi sorgum. Tapi itu dulu. Cerita ini saya dapat dari para orang tua tetangga saya. Nyatanya, hingga kini saya sulit mendapatkan bibit sorgum. Saya baru mendapatkan enam jenis bibit sorgum yang kini tengah saya budidayakan,” jelas Sarjana Hukum, Universitas Merdeka Malang ini.

Hingga kini, Tata tidak bisa memahami, kenapa tanaman yang justru cocok ditanam di NTT tidak dikembangkan dan dibudidayakan dengan baik oleh pemerintah setempat. Padahal sudah sangat jelas, tanaman ini sangat cocok di tanam di lahan kering seperti halnya NTT. Dia menilai masyarakat dan pemerintah, bahkan selalu menyamakan panganan wajib itu sama dengan beras. Padahal makanan pokok, yang selama ini dikonsumsi orang Timor-Flores adalah ubi, keladi, jagung lokal, pisang dan sorgum.
“Sayangnya kebijakan pertanian yang sering diambil adalah berasinasi, dan jagung hibrida yang tidak awet disimpan masyarakat. Jadi kini saya bisa memahami kenapa sorgum kini sulit sekali didapat, saya tidak tahu bagaimana cara berpikir pemerintah,” jelas Tata, lagi.

Kondisi yang digambarkan Tata adalah kenyataan yang kini dihadapi para petani di sejumlah wilayah Indonesia. Terutama para petani di daerah kering, pesisir dan kepulauan kecil seperti di wilayah Timor-Flores dimana Tata tinggal. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seringkali tidak bisa menangkap apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Bantuan pertanian yang diberikan, misalnya, lebih mengedepankan nilai proyek dibandingkan membangun kesinambungan ketahanan pangan masyarakat setempat. Masalah ini pula mendapatkan sorotan tajam dari Illyas Dg. Laja, dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia.

“Kebijakan pemerintah di pertanian memaksakan petani untuk menanam komoditi ekspor yang karaktek tanamannya tidak sesuai dengan budaya, geografis dan iklim di suatu wilayah. Kadang hal itu justru merusak lingkungan dan mematikan karaktek petani setempat,” jelas Illyas dalam salah satu acara talk show bertema, “Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim,” yang juga menjadi salah satu menu dalam rangkaian kegiatan tersebut.

Keluhan ini, kemudian dijawab oleh DR Ir Haryono MSc, Kepala Litbang Departemen Pertania RI, selaku pembicara dalam talk show tersebut bahwa pemerintah pusat tidak mempunyai wewenang dalam memcampuri kebijakan Pemda. Pusat hanya lebih mefokuskan pada kebijakan swasembada beras sebagai tanaman yang dipercaya menghasilkan makanan pokok bangsa ini, sementara pada tanaman spesifik seperti halnya jagung dan lainnya, termasuk sorgum, pengaturannya menjadi wewenang pemerintah daerah.
Kendati jelas soal ketahanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia termasuk NTT, misalnya lebih disebabkan tidak tepatnya kebijakan pertanian yang dikeluarkan, seringkali perubahan iklim menjadi kambing hitam favorit untuk dipersalahkan atas terjadinya duduk persoalan kerawanan pangan di suatu wilayah, seperti yang dialami NTT. Nixon Balukh Sp, MSi, selaku Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, yang juga menjadi pembicara dalam talk show tema yang sama menjelaskan, di provinsinya kini tengah mengalami gagal tanam dan panen, yang memang lebih banyak disebabkan adanya perubahan iklim.
Sebagai catatan saja, Provinsi NTT kini dikategorikan sebagai provinsi rawan pangan yang parah. Dalam berita BBC Indonesia yang dilansir baru-baru ini menyebutkan dalam satu atau dua bulan ke depan 10.000  di sembilan kabupaten provinsi ini akan mengalami kerawanan pangan yang parah. Hal ini disebabkan para petani mengalami gagal tanam dan panen karena musim tidak menentu. Berita lainnya yang dilansir Viva news menyebutkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) membangun kantor bupati baru senilai Rp33 miliar ketika puluhan ribu warga yang menetap di 150 desa yang tersebar di 32 kecamatan dilaporkan terancam rawan pangan serius.

Memperlihatkan keironian ini menjadi penting dalam melihat duduk persoalan perubahan iklim dan masyarakat kecil yang terkena dampaknya. Fenomena perubahan alam bernama perubahan iklim semakin memperparah akumulasi persoalan soal ketahanan pangan yang lebih banyak disebabkan salah urus dan tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan.

 “Tanaman jagung hibrida yang sering disodorkan pemerintah kepada para petani, misalnya, justru tidak bisa disimpan dalam waktu lama untuk petani menghadapi musim paceklik, misalnya. Tidak seperti jagung-jagung lokal, bahkan sorgum. Tapi hingga kini, saya masih sulit mendapatkan bibit-bibit panganan lokal ini. Petugas PPL juga tidak aktif untuk melakukan pembinaan kepada petani terkait dengan tanaman lokal. Makanya, begitu saya mendapatkan beberapa bibit sorgum, saya menyimpan, mengembangkan dan membudidayakannya. Saya juga menawarkan tetangga dan petani lainnya di sekitar saya bibit-bibit sorgum yang saya miliki jika mereka berminat menanamnya,” tandas Tata.

Contoh adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Maria Loretha alias Tata, hanyalah satu dari sekian contoh yang telah dilakukan masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir dalam menghadapi perubahan iklim.  Tidak semua petani di NTT bisa secerdas Tata yang berusaha mencari tahu sendiri kebutuhan yang diminatinya, dan juga tentu saja punya modal serta lahan yang baik. Sekarang ini Tata sibuk menularkan pengetahuannya dalam bertanam sorgum ke sejumlah petani yang berminat menanam. Dia bahkan dengan suka cita akan memberikan bibitnya secara gratis.

Selain Tata, ada juga seorang guru muda, Murniadi SPd, asal Langkese, yang mengajar di pulau kecil bernama Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kendati dia bukanlah orang asli pulau tersebut, namun melihat kondisi pesisir pulau ini yang mengalami abrasi membuatnya cukup prihatin. Seperti halnya Tata, tanpa dibantu siapa pun, Murni mulai berinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Dia memulai melalui muridnya. Sebagai catatan, di kepulauan ini hanya ada sekitar 250-an murid SD dan SMP.  Sementara gurunya hanya ada enam orang dan kini ada tambahan dua lainnya di sana, termasuk dirinya.

“Saya masuk ke pulau itu di tahun 2007. Niatnya hanya ingin mengajar anak-anak itu, karena mereka butuh guru. Karena di pulau dan jauh, saya dan kawan-kawan guru memang harus tinggal di sana. Saya sangat menyukai pulau itu, sehingga setiap ada waktu, saya sempatkan keliling dari pantai ke pantai. Pantai yang ada bakaunya begitu indah. Kondisinya jauh lebih baik. Mudah sekali menemukan biotanya di sana. Tapi sebaliknya pantai yang sudah kehilangan bakau makin tergerus ombak tiap kali musim gelombang laut naik. Menurut cerita para orang tua di sana, dulu kawasan pantai pulau ini memang dipenuhi pohon bakau. Mereka masih menemukan burung-burung, monyet, kerang bakau, ikan. Masyarakat di sini juga  di sini tidak perlu khawatir kalau air laut mulai naik ke permukaan, “ jelas Murni.
Dari hasil “jalan-jalan” dan “ngobrol” dengan para ibu dan orang tua di sana terkait dengan kondisi pantai di pulau itulah, membuatnya mulai berpikir, dia harus melakukan sesuatu. Dia ingin yang memulai langkah tersebut bukan dirinya, tapi anak-anak, murid-muridnya.  Murni pun mulai memasukkan muatan-muatan kesadaran tentang arti pentingnya hutan bakau bagi kawasan pantai di kepulauan kepada murid-muridnya. Pada pelajaran IPA, dia membawa muridnya ke lapangan. Dia meminta kepada para muridnya memberikan catatan perbedaan kehidupan yang mereka temukan di pantai yang banyak bakau dan pantai yang jarang tanaman bakau. Pelajaran Bahasa Indonesia dia meminta kepada murid-muridnya untuk menuliskan hasil  pengamatannya tentang dua kondisi tersebut.

“Dari sana mereka mulai berpikir sendiri. Misalnya dia bilang ke saya, Bu, ternyata kalau pantai kita ada mangrove sangat baik menjaga lingkungan rumah kita dari abrasi pantai, atau kalau kita tanam bakau pasti akan banyak kehidupan lagi yang tumbuh di pulau ini, sehingga bisa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Tanpa saya suruh dan minta, di suatu hari Minggu pagi, mereka mengajak saya untuk menanam pohon bakau. Bibitnya kami ambil dari pohon-pohon bakau sekitar pulau,” jelas Murni yang berasal dari keluarga besar guru ini.

Hasilnya kini, wajah Tanakeke jauh lebih hijau, dan pantainya mulai terjaga. Pohon-pohon bakau yang mereka tanam sejak 2007 kini bertumbuhan dengan sangat baiknya. Murni selalu mengatakan itu adalah hasil ide, kerja dan kepedulian para muridnya. Kini kegiatan menghidupkan kembali  bakau di kepulauan itu tidak hanya dilakukan oleh murid-murid Murni, tapi hampir keseluruhan warga kepulauan tersebut, termasuk para ibu di sana.

Kisah Murni, ini diminati sejumlah peserta yang saat itu berada dalam bursa pembangunan. Sesi yang dia presentasikan bertema, “Aksi di pesisir untuk keberlanjutan hidup.” Beberapa peserta lain menanyakan proses-proses awal bagaimana Murni menemukan ide dan mengajak serta masyarakat di sana, terutama anak-anak. Dia juga cukup mahir menjelaskan tentang cara-cara menanam bakau yang baik dan benar.
Selain Murni dan Tata, ada Yosep Elsoin yang menceritakan tentang kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Tanimbar Kei, satu-satunya wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Hindu di Kawasan Timur Indonesia. Di daerah ini terbentuk beberapa Kelompok Pelestari Kampung yang bededikasi tinggi dalam melestarikan alam dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan juga para petinggi adat di sana. Perpaduan aturan adat (dikenal dengan sebutan sasi) dan pendekatan adaptasi membuat populasi Trochus di daerah itu meningkat tajam. Pemberdayaan ekonomi alternatif di daerah ini seperti pengelolaan rumput laut, kini mengalami banyak perkembangan. Di kampung Ohoiren,  populasi biota laut langka seperti sea cucumbers dan trochus turut meningkat dengan adanya aturan adat atau sasi.

Berdekatan dengan Tanimbar ada Simon Morin di wilayah Meos Mangguandi, sebuah kampung di Distrik Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua adalah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat pesisir di timur Indonesia yang hingga sekarang memegang teguh aturan-aturan tersebut, yang juga dikenal sebagai Sasi. Sasi di wilayah ini digunakan untuk menjaga ketersedian pasokan ikan dan juga melindungi beberapa jenis ikan yang mulai jarang terlihat.  Secara perlahan, perubahan kualitas hidup terumbu karang di Kepulauan Padaido, khususnya di Meos Mangguandi, mulai terlihat. Kini terumbu karang semakin ramai dihuni oleh berbagai jenis ikan.

Sementara di Sulawesi Tengah, para peserta juga belajar dari Anwari warga desa Togean, Kabupaten Tojo Unauna. Dia bersama Yayasan Palu Hijau dan Sekolah Tinggi Perikanan Kelautan Palu, menginisiasi adanya desalinisasi air laut menjadi air tawar. Kisah ini pun cukup diminati, karena sebagian peserta juga tinggal di kepulauan yang jauh dari daratan, dan masalah mendapatkan air bersih menjadi kendala utama dalam menjalani keharian mereka.

Anwari menjelaskan, jauh sebelum dipasangnya demplot penelitian desalinasi air bersih oleh Bappeda Kabupaten Tojo Unauna pada tahun 2008, masyarakat Togean harus menggunakan air hujan untuk kebutuhan MCK. Sementara untuk kepentingan memasak dan minum mereka harus mendayung 4-6 jam ke pulau tetangga untuk mendapatkan air bersih. Kecamatan Togean merupakan kepulauan dengan luas 229,51 km2. Setidaknya ada 20 pulau kecil, terdiri dari 14 desa, 11 diantaranya berada di pesisir pantai. Masalah mendapatkan air bersih adalah kendala utama bagi penduduk sekita terutama dusun Togean tersebut.
Kini, meski masih dengan keterbatasan, sebuah wadah penampung air laut yang telah ”menyulap” menjadi air tawar lewat proses desalinasi, telah memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga desa yang dikelilingi laut ini. Proses desalinisasi yang dimaksud adalah ada sebuah bak penampung air laut, dengan penutup yang dibuat dari atap seng atau kaca untuk memungkinkan terjadinya presipitasi. Hasilnya adalah gram dan embun (air tawar). Sebuah wadah dengan luas penampang kaca 3,70 meter persegi dapat menampung air laut sebanyak 675 liter. Air tawar yang dihasilkan dalam kurun waktu 6 jam (jam 9 pagi hingga jam 3 petang) adalah 37,5 liter. Siap melayani kebutuhan warga desa Togean.

Termasuk kisah-kisah masyarakat kepulauan Raja Ampat yang secara kreatif menggunaka kapal yang diberinama Kalibia, guna menyebarkan kesadaran dan pengetahuan tentang arti lingkungan yang baik bagi alam sekitar dan manusa. Albert Nebore membawakannya secara menarik saat membawakan sesi Kalabia : Melayarkan sumber pengetahuan dari pulau ke pulau. Para peserta juga dibawa untuk bisa melihat kerja BMKB NTB dalam melakukan sekolah lapang iklim untuk para petani sekitar. Sekolah ini memadupadankan teknologi dan kearifan lokal dalam memperkirakan iklim yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Di Sekolah Iklim para petani belajar melihat tanda-tanda iklim dengan alat sederhana yang dibuat. Setelah memperkirakan kecenderungan iklim yang akan terjadi di beberapa bulan kemudian, para petani  dibekali pengetahuan untuk menentukan jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam. Banyak lagi beberapa diskusi lainnya yang diikuti peserta dari awal hingga selesai.

Memberi pengetahuan solusi atas masalah
”Dari hasil diskusi ini, jelas sekali di tataran komunitas lebih siap jika kita mendengar upaya-upaya mereka sejauh ini. Contoh-contoh seperti ini sebenarnya yang kita butuhkan untuk lesson and learn adaptasi perubahan iklim di masyarakat, karena sejauh ini di Indonesia belum pernah banyak menampilkan pengalaman-pengalaman cerdas yang solutif seperti yang ditunjukkan dalam forum ini. Mudah-mudahan ini bisa membuka mata berbagai pihak terutama pengambil kebijakan untuk meresponnya dengan baik,” jelas Arif Muhammad, dari DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim).

Arif menambahkan pendekatan yang dilakukan dalam merespon kebutuhan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim tidak harus menggunakan teknologi tinggi. Kearifan lokal dan juga upaya sederhana seperti yang terungkap dalam forum bisa dijadikan media, dan pemerintah serta sektor terkait diharapkan bisa meresponnya dengam cepat.

”DNPI sendiri telah melakukan berbagai macam kajian tentang kerentanan dampak perubahan iklim di berbagai daerah di Indonesia. Dokumennya sangat lengkap, dan kami selalu membaginya kepada Pemda yang bersangkutan. Tapi soal adalah, bagaimana kemudian ini ditanggapi oleh Pemda untuk menindaklanjutinya. Kebanyakan kadang hanya jadi dokumen, karena dianggap tidak mempunyai nilai strategis untuk kepentingan politik, atau alasan yang sering di dengar belum menjadi prioritas utama, tau anggaran terbatas,” jelas Arif lagi.

Padahal upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, jelas Arif lagi membutuhkan kerjasama yang kuat diantara sektor-sektor pembangunan. Kedua upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang cukup besar. Keterbatasan anggaran bisa diantisipasi melalui pengalokasian anggaran oleh tiap sektro. Sektor yang dianggap berhubungan langsung dengan dampak perubahan iklim misalnya, harus direspon dengan cepat. Dia juga mengingatkan agar rantai birokrasi proses perumusan program dan strategi implementasi bisa dipersingkat guna meredam atau mengurangi dampak perubahan iklim.

Senada juga diungkapkan Ir. H. La Sara, Msi, Phd dari Sulawesi Tenggara. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari pemerintah terkadang hanya berbasis proyek dan bukan pada kesinambungan keberlanjutan yang tuntas, baik yang dikonkretkan dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan maupun dengan implementasinya.

”Tapi saya pikir, mempertemukan pihak-pihak dari berbagai unsur yang berhubungan langsung dengan isu perubahan iklim sudah tepat. Saya pikir ini menjadi langkah awal yang bagus dalam melihat duduk persoalan dampak perubahan iklim di masyarakat pulau-pulau kecil ini lebih konkret,”tandasnya.

Bagi La Sara yang juga anggota JIKTI dan juga akademisi, hasil diskusi yang diikutinya jelas akan menjadi bahan yang berguna untuk bisa disebar dan dibahas kembali bersama kolega akademisinya dan juga sesama anggota JIKTI dari berbagai daerah di Indonesia Timur.

Lebih dari itu jika meminjam kata-kata dari Dr Ir Alex SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian RI/ SC diskusi regional FKTI ini, bahwa masyarakat pulau-pulau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan bangsa. Jadi seharusnya segala persoalan yang mengancam terhadap kepulauan tersebut harus direspon secara serius. Apalagi perubahan iklim jelas telah mengancam eksistensi hidup dan kehidupan masyarakat di sana.
Acara ini terlaksana atas kerjasama:
Yayasan BaKTI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim dan KOMPAS.
dan didukung oleh:
AusAID, Pemerintah Provinsi NTB, NZAID, OXFAM dan USAID - IMACS


Leave a Reply