Merefleksi Kasus Blok Ambalat

KabarIndonesia - Kasus Ambalat yang telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan Indonesia-Malaysia, patut kita jadikan bahan refleksi. Sebagai bangsa, wajar apabila banyak pihak jengkel, terusik, dan bahkan marah terhadap klaim Malaysia atas wilayah Ambalat yang kita yakini sebagai wilayah Indonesia itu.

Perlu ada pelajaran ditarik dari sana, seperti kemauan untuk membenahi sistem pertahanan dan postur TNI di masa mendatang.

Pertama, klaim Malaysia atas Ambalat selain menggunakan tafsiran atas ketentuan-ketentuan legal menurut mereka sendiri, tampaknya juga didasarkan atas kalkulasi strategis. Di mata Malaysia, Indonesia dianggap tidak memiliki kekuatan penangkal (deterrent) yang memadai. Dengan kata lain, postur pertahanan Indonesia dewasa ini jelas tidak dapat mencegah niat Malaysia untuk mencoba menguasai wilayah Indonesia di Ambalat.

Kedua, dari segi teknologi pertahanan dan kecanggihan peralatan perang, Indonesia tampak sudah ketinggalan dari Malaysia, terutama pada kekuatan matra laut dan udara. Peralatan yang dimiliki oleh TNI AL sudah sangat tua usianya. Kepada DPR, misalnya, mantan KSAL Laksamana Bernard Ken Sondakh pernah mengakui bahwa kebanyakan KRI tidak siap tempur. Pengakuan serupa juga pernah disampaikan oleh mantan KSAU Marsekal Cheppy Hakim, yang menyatakan bahwa dari 222 pesawat tempur, pesawat angkut dan helikopter, hanya 41,5 persen saja yang siap tempur.

Ketegangan di Blok Ambalat kembali terulang. Sebab, Malaysia berkali-kali melanggar daerah yang berada di laut sebelah timur Pulau Kalimantan itu. “Kapal-kapal patroli (Indonesia) berulang-ulang memergoki mereka (kapal-kapal Malaysia, Red).  Hingga Selasa (2/6) pagi, situasi di wilayah perbatasan laut RI-Malaysia di Ambalat, masih hangat menyusul beberapa insiden pelanggaran wilayah RI oleh kapal-kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM).

Komandan KRI Untung Surapati, Mayor Laut Salim mengatakan, situasi keamanan masih belum berubah yakni siaga penuh.   Pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal perang TLDM kerap terjadi bahkan ada sejumlah nelayan Indonesia ditangkap di tempat dan dirampas paksa hasil tangkapannya karena dianggap melanggar wilayah Malaysia di Ambalat. Padahal, seharusnya di daerah yang masih dalam sengketa antara dua negara, tidak boleh ada manuver dari salah satu pihak.

Awal pekan lalu, Kapal perang TNI AL KRI Untung Surapati-872 berhasil mengusir kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM), KD Yu-3508 yang mencoba memasuki wilayah kedaulatan Republik Indonesia di perairan Blok Ambalat. Sehari sebelumnya, KRI Hasanudin-366 juga mengusir KD Baung-3509 dan heli Malaysian Maritime Enforcement Agency serta pesawat Beechraft yang juga mencoba memasuki wilayah Blok Ambalat.

Berdasarkan data TNI AL, pelanggaran wilayah oleh unsur laut dan udara TLDM maupun Police Marine Malaysia di Perairan Kalimantan Timur, khususnya di Perairan Ambalat dan sekitarnya, periode Januari sampai April 2009, tercatat sembilan kali. Sedangkan berdasarkan catatan Komisi 1 DPR telah terjadi 11 kali pelanggaran oleh Malaysia selama Januari hingga medio 2009.

Pada 27 Mei 2009 empat nelayan Indonesia ditangkap dan dipukul serta dirampas hasil tangkapannya, oleh TLDM karena dianggap melanggar wilayah Malaysia. Padahal sesuai prosedur, nelayan seharusnya dibawa ke pos AL mereka jika memang terbukti melanggar wilayah Malaysia untuk diproses secara hukum. Bukan lantas ditangkap di laut, dipukul dan dirampas hasil tangkapannya.

Blok Ambalat seluas 15.235 kilometer persegi memiliki kandungan minyak dan gas hingga 30 tahun. Agaknya inilah alasan mengapa Malaysia ingin merebut kawasan tersebut. Kalau saja kita mau merefleksi diri, harusnya kasus Ambalat tak akan terjadi. Sebab, kita sudah punya pengalaman pahit sebelumnya dengan Malaysia, juga terkait dengan masalah perebutan wilayah.

Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana juru runding dan diplomat kita 'dikerjai' Mahkamah Internasional dalam kasus Sipadan-Ligitan.  Argumentasi perunding RI yang dibekali data, fakta, dan argumentasi yang begitu lengkap, baik dari sisi sejarah, peta, dan peraturan dan hukum internasional dapat dengan mudah dipatahkan hanya dengan argumen penguasaan/'occupatie de facto'?  (Artinya kurang lebih begini, jika anda punya sebidang tanah secara sah, karena tidak ada dana dan waktu untuk merawat, anda biarkan tanah itu kosong, lalu ada pihak yang menguasai tanah itu dan mendirikan bangunan. kemudian anda protes dan mengajukan hal ini ke pengadilan, kemudian pengadilan menyalahkan anda dan memenangkan penyerobot itu dengan alasan penguasaan de facto, konyol kan?)

Bagaimana argumen bahwa Sipadan-Ligitan merupakan bagian tak terpisahkan dari alur pulau Kalimantan dipatahkan hanya dengan argumen bahwa Mahkamah Internasional tidak mengenal sebutan Kalimantan tetapi mereka hanya mengenal Borneo.

Perundingan pertama tentang Ambalat di Bali, juru runding kita telah digiring oleh Malaysia dengan opini bahwa perairan Ambalat adalah wilayah dengan status quo karena sedang disengketakan? Kedua belah pihak diminta mengurangi jumlah pasukan? Dagelan macam apa ini? Jelas terjadi sengketa dan ketegangan karena Malaysia yang mengklaim wilayah RI, dan seharusnya pemerintah menegaskan bahwa Ambalat tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi daerah status quo.

Parahnya lagi, para penulis ahli, diplomat kita, mengiyakan pendapat mereka?  Seraya introspeksi bahwa kita kurang jeli dan kurang data, menyalahkan diri sendiri karena kurang siap. Ini benar-benar konyol dan bodoh! Kini Malaysia menghembuskan opini bahwa masalah sengketa adalah masalah rumit dan butuh waktu yang lama dan kesabaran tinggi.

Mau saja kita diakalin. Kita tidak perlu menunggu lama dan bersabar panjang, tidak perlu buang duit ratusan milyar untuk berunding jika pemerintah RI menekan Malaysia agar mencabut klaim atas Ambalat.... Sangat sederhana bukan?(*)

Leave a Reply