Bangun Pendidikan di Perbatasan!

Salah satu persoalan yang memicu polemik di perbatasan tak lepas dari dunia pendidikan. Selama ini pemerintah terkesan tidak memerhatikan pendidikan di kawasan perbatasan RI-Malaysia, di Kalimantan Barat.

Perbatasan Harus Kuat

Perbatasan : pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih karena dimensi yang terlibat cukup kompleks, seperti pertahanan-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya

Perbatasan Harus Sejahtera

Anggapan yang menyedihkan : Malaysia selama ini mengelola wilayah perbatasan secara lebih baik dibanding Indonesia

Selamatkan Perbatasan

Wilayah perbatasan : merujuk pada problematika masyarakat di wilayah perbatasan yang didominasi oleh minimnya infrastruktur dan rendahnya tingkat ekonomi warga

Archive for 2011

Indahnya Kepulauan Natuna


Finroll.com-Kabupaten Natuna, merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau. Natuna merupakan wilayah kepulauan paling utara di Selat Karimata di sebelah utara, Natuna berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja, sedangkan di Selatan, Natuna berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Jambi. Untuk sebelah Barat, Natuna berbatasan dengan Singapura, Malaysia. Dan bagian Timur berbatasan dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat.

Selama ini, Natuna yang berada pada jalur pelayaran Internasional dikenal sebagai penghasil Minyak dan Gas. Namun, Natuna, tidak hanya menyimpan hasil bumi, karena banyak tempat dapat dijadikan daerah kunjungan wisata, dengan pesona alam pantai dan laut, serta pulau-pulau yang indah untuk dikunjungi.

Sebut saja, pantai Sisi Serasan yang terletak di Kecamatan Serasan. Memang, sepintas bila kita melihat di Peta, lokasinya berdekatan dengan Kalimantan Barat, dan dekat dengan perbatasan Malaysia bagian Timur atau Serawak.

Dari Ranai, ibukota Kabupaten Natuna, untuk menuju Serasan, maka kita harus menempuh perjalanan laut. Biasanya masyarakat sekitar menaiki KM Bukit Raya milik PT.Pelni, yang memang rutin melayari perjalanan dari Ranai ke Serasan.

Dengan KM.Bukit Raya, waktu tempuh Ranai Serasan memakan waktu 10 - 11 jam perjalanan. Pantai Sisi, memiliki panjang sekitar 7 KM dengan hamparan pasir putih berkilauan. Pantai ini terbentang dari Entebung Kampung Payak sampai Teluk Resak Kampung Jermalik.

Untuk mencapai kawasan pantai dapat melalui Entebung atau melewati Engkalan, Kampung Genting. Setiap sore, pantai ini ramai dikunjungi. Tidak saja oleh kalangan muda yang datang untuk bersantai, bahkan juga para orang tua yang datang bersama keluarga, untuk sekedar berdarma-wisata.
Untuk sarana, di lokasi pantai terdapat sebuah kafe, tempat pengunjung menikmati aneka makanan dan minuman, seraya melihat pemandangan laut lepas dan hamparan pasir putih dan desiran ombak yang menggulung, serta pemandangan sunset, sore hari. Pantai Sisi, tidak pernah sepi. Sedari subuh, sudah terlihat aktifitas, yakni para nelayan setempat yang akan turun melaut, menangkap ikan, yang salah satunya adalah ikan Gerinsi. Pada siang hari, banyak warga yang datang ke pantai untuk menunggu para nelayan pulang melaut, untuk membeli ikan hasil tangkapan.

Menurut mantan Sekda Natuna yang kini menjadi Bupati Natuna terpilih pada Pemilukada, Februari 2011 lalu, Ilyas Sabli, yang merupakan putera kelahiran Serasan, pantai Sisi mempunyai potensi wisata yang amat besar untuk dikembangkan. Bahkan dirinya yakni, keberadaan pantai Sisi bisa menyaingi pantai-pantai terkenal di Indonesia. Ungkapnya, dengan hamparan pasir putih sepanjang 7 KM, ditambah dengan daratan yang luas dan rata sepanjang bentangan pantai Sisi, bisa dikembangkan sarana wisata berupa bandara dan hotel berbintang.

Dengan demikian, wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan pantai Sisi, tidak akan terkendala pada sarana transportasi dan akomodasi. Lanjutnya, meski potensi wisata pantai Sisi belum benar-benar dikembangkan, akan tetapi sudah menjadi objek wisata masyarakat setempat. Biasanya, di tempat tersebut diadakan permainan rakyat, semisal panjat pinang, tarik tambang, dayung sampan dan permainan rakyat lainnya, termasuk penampilan band lokal untuk menghibur pengunjung.

Potensi alam natuna sanggat kaya tapi saya masih minim akses serta fasilitas pendukung, Ia berharap agar pemerintahan pusat dapat melakukan stady kelayakan terhadap potensi alam natuna hingga terekspos dengan kemasan sederhana dan bernilai jual yang sanggat baik dimata wisata dunia. Misalnya saja, keberadaan taman laut yang cukup indah disertai dengan pasir putih yang ada pada beberapa pulau tentu bisa dijadikan sebagai taman wisata.

Selain itu, ada pantai Tanjung, sisi serasan, Midai Pulau laut yang memiliki segudang potensi yang belum disentuh dan dikelola dengan profesional. Tetapi semuanya itu masih membutuhkan investasi besar untuk mengembangkan potensi wisata yang ada. Mudah mudahan saja seiring dengan pengelolaan Migas Blok D Alpha maka potensi wisata juga ikut berkembang, harapnya.

http://www.finroll.com/baca/3304/Indahnya-Kepulauan-Natuna
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

KEINDAHAN KEPULAUAN NATUNA

Kepulauan Natuna adalah kepulauan 272-pulau Indonesia, yang terletak di Laut Natuna antara Malaysia Timur dan Barat dan Kalimantan. Kepulauan ini resmi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Natuna adalah salah satu kelompok pulau paling utara Indonesia. Pulau-pulau utama Kepulauan Natuna adalah Natuna, Natuna Selatan dan Tambelan. Kelompok Natuna Selatan terdiri dari pulau Serasan, Panjang dan Subi. Kepulauan Anambas, terletak beberapa ratus kilometer di sebelah barat dan terdiri dari Terempa, Matak dan Andriabu Pulau Jemaja, juga kadang-kadang termasuk di Kepulauan Natuna.

Natuna  menawarkan pantai yang belum terjamah dan bentang alam dan budaya yang benar-benar layak dikunjungi. Kepulauan ini dikenal untuk tekstil tenunan indah dan tarian tradisional mereka. Pulau-pulau Natuna tersebar di area yang luas, yang terletak di Laut Cina Selatan antara timur dan barat Malaysia, Kalimantan dan Singapura. Kelompok utama pulau Anambas ke barat, Natuna, selatan Natuna dan Tambelan. Salah satu ladang gas alam terbesar di dunia telah ditemukan di sini, lapangan gas Natuna di Utara dan Selatan kepulauan Natuna diyakini telah 222000000000000 kaki kubik gas alam di cadangan, 46 triliun ini dapat dipulihkan. Di masa depan Natuna Proyek Gas Alam akan sangat penting bagi perekonomian Indonesia.

Ekologi
Kepulauan Natuna memiliki dunia burung yang luar biasa dengan 71 jenis burung terdaftar, termasuk elang ikan dekat-terancam Lesser-, Natuna Serpent-elang atau endemik langka keperakan Wood-Pigeon. Di antara spesies lain spesies terancam, kita menemukan Iora Hijau, Fulvetta Brown atau Broadbill Green.

Natuna Besar
Natuna Besar (atau Ranai) adalah yang terbesar dan paling utara dari pulau dan juga salah satu titik paling utara di Indonesia. Disini kita dapat menemukan tempat yang indah terumbu karang dan berbagai macam ikan.
Populasi adalah relatif kecil, tetapi beberapa orang telah pindah ke sini oleh pemerintah dari pulau-pulau lainnya di Indonesia dan tumbuh produk seperti kacang tanah dan kacang polong. Gunung Ranai, gunung tertinggi di kepulauan Natuna di 1,035 m, terletak di pulau ini.


Ada beberapa daerah yang besar untuk menyelam di sini, perairan Laut Cina Selatan di sekitar pulau dapat menawarkan sebuah dunia bawah laut yang unik, karang biasanya ditemukan dalam waktu lima sampai sepuluh meter di bawah permukaan laut dan 50-750 meter dari pantai. pulau-pulau kecil seperti Senoa ke timur laut juga dapat menawarkan pantai putih dan terumbu karang, Panjang ke arah barat laut dikenal untuk penyu hijau dilindungi, dan dapat dicapai dengan perahu dari Natuna Besar dalam 30 menit. Total ada sekitar 20 pulau kecil di sekitarnya Natuna Besar.

Natuna Selatan
South Natuna terletak antara Natuna Besar dan daratan Kalimantan, pulau-pulau utama di sini adalah Serasan, Panjang dan Subi. Pulau-pulau memiliki surfing yang kuat dan pemandangan mengesankan.
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Pulau Natuna Menyimpan Cadangan Gas Alam Terbesar di Dunia

Membicarakan Natuna akan terpikir sebuah kabupaten yang terdiri dari ribuan pulau terletak di ujung utara Indonesia dengan jarak lebih dari 1.250 km dari Jakarta.

Kepulauan Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan di Dunia. Di dalam perut buminya juga bergelimang minyak. Tak hanya itu, di kepulauan yang terletak di teras depan Negara Indonesia ini menghampar aneka jenis terumbu karang yang sangat memukau.

Dimana kita bisa menemukan berbagai material tambang seperti gas alam, minyak bumi, dan pasir kuarsa dalam jumlah besar? Jawabnya, Kepulauan Natuna. Kekayaan mineral tambang tersebut bukan hanya terhampar di darat, tetapi juga tersebar bertaburan di bawah dasar laut.

Menurut hitungan pemerintah, Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik Hal ini merujuk pada salah satu ladang gas yang terletak 225 kilometer (km) sebelah utara Natuna.

Di sini tersimpan cadangan gas alam dengan volume sebesar 222 triliun kaki kubik (TCT). Selain itu, gas hidrokarbon yang bisa ditambang mencapai 46 TCT. Angka itu tentu saja belum termasuk cadangan gas alam yang terdapat di bagian barat Natuna yang dikelola juragan minyak raksasa kelas dunia.

Bukan hanya berjaya di sektor gas alam. Natuna juga diselimuti minyak bumi yang seolah tiada pernah ada habisnya. Sumur-sumur off shore yang berada di bagian timur Natuna itu terus memancarkan minyaknya.
Jadi, wajar saja kalau sektor migas di Kabupaten Natuna ini menjadi penyumbang terbesar bagi perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Migas yang berasal dari pelapukan fosil binatang laut selama jutaan tahun silam itu memberi kontribusi sekitar 10,11 persen dari perekonomian Kepri.

Sayangnya di kuasai pihak asing
Pengeboran minyak lepas pantai
Pendapatan dari penambangan migas di seluruh sumur eksplorasi di Natuna sangatlah menggiurkan. Pada tahun 2007 misalnya, nilainya mencapai 21,8 triliun rupiah. Betapa makmur dan sejahteranya bila semua hasil eksplorasi ini dinikmati sepenuhnya oleh bangsa Indonesia.
Sayangnya, sebagian besar hasil eksplorasi tersebut dikuasai oleh perusahaan swasta asing. Maklum, baik modal, tenaga ahli, maupun peralatan hampir seluruhnya disuplai oleh Exxon Mobil, Conoco Philips, Star Energy, dan Primer Oil.

Praktis, pembagian keuntungan dari bisnis tersebut sebagian besar dinikmati oleh mereka. Sedangkan Indonesia sebagai pemilik kekayaan alam tersebut hanya mendapat sedikit keuntungan.
Bayangkan, dari total pendapatan yang mencapai puluhan triliun rupiah itu, Kabupaten Natuna hanya kecipratan Rp 225 miliar. Sementara itu, pemerintah pusat kebagian sekitar Rp 525 miliar. Sedangkan triliunan rupiah lainnya menjadi hak milik perusahaan asing alias menguap ke negara lain.
Tak mengherankan kalau kondisi sosial ekonomi masyarakat di Natuna tak beranjak sejahtera. Lihat saja nilai Indeks Pengembangan Manusia (IPM) yang diukur berdasarkan kelangsungan hidup, pengetahuan, dan daya beli. Semakin tinggi IPM, tingkat kesejahteraan hidup masyarakat kian makmur.

Fakta menunjukkan, ternyata Kabupaten Natuna yang bergelimang migas tersebut memiliki IPM terendah dibandingkan dengan lima kabupaten/kota lainnya di Kepri. Itu artinya, angka harapan hidup, tingkat pendidikan, dan pengeluaran riil per kapita di Natuna berada pada urutan paling buncit. Sebuah fakta yang ironis memang.
Pesona Keindahan Natuna
mesjid natuna
Masjid raya natuna
natuna2
Landscape di Natuna
pantai batusindu
Pantai Batusindu
natuna1
Pantai dgn batu karang di Natuna
natuna
Pantai pasir putih di Natuna
karang
Terumbu karang di Natuna
Profile Blok D-Alpha Natuna
natuna
Ilustrasi sarana perlengkapan untuk proses pengeboran minyak di Natuna
Selain banyak pantai dan pulau masih “perawan” Natuna juga super kaya dengan kandungan gas maupun minyak bumi. Terasa tak lengkap jika membicarakan Natuna tanpa kandungan alam gas alam yang disebutkan oleh para ahli, memiliki cadangan terbesar Asia Pasifik bahkan di dunia.

Yaitu Blok Natuna D-Alpha merupakan blok gas dan minyak yang menyimpan sekitar 500 juta barel. Total potensi gas diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik, dan inilah cadangan terbesar di dunia yang tidak akan habis dieksplorasi 30 tahun ke depan.
Potensi gas yang recoverable sebesar 46 tcf (46,000 bcf) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak (1 boe, barel oil equivalent = 5.487 cf ).
Dengan potensi sebesar itu, dan asumsi harga rata-rata minyak US$ 75 / barel selama periode eksploitasi, nilai potensi ekonomi gas Natura adalah US$ 628,725 miliar atau sekitar Rp 6.287,25 triliun (kurs US$/Rp = Rp 10.000). Bandingkan dengan APBN 2010 yang hanya Rp 1.047,7 triliun.
Terhitung 2 November 2010 hingga 2 Maret 2011, Premier Oil telah mendeteksi kandungan minyak dan gas di kawasan Blok D Alpa Natuna.

Premier Oil perusahaan pengeboran minyak dan gas yang berkantor pusat di Inggris itu bakal melakukan pengeboran selama 30 tahun sesuai dengan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia mulai tahun 2007.
Pelaksanaannya secara bertahap, masa penjajakan potensi 10 tahun jika tidak menemukan potensi Migas yang bernilai ekonomis, maka pengeboran dihentikan.

Goverment Affairs, Manager PT Premier Oil, Nina Marlina menjelaskan, butuh waktu hingga 2 Maret 2011 untuk mendeteksi kandungan Migas Blok yang berada di utara laut Natuna. Hal itu dia paparkan di aula kantor bupati Natuna di Ranai beberapa waktu lalu.

Saat itu, Nina hadir juga Kepala Humas dan Hubungan Kelembagaan, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas (BP. Migas), Elan Biantoro bersama jajaran Kontraktor Premier Oil.

Terkait hal itu, guna menunjang pelaksanaan proses eksploitasi, Premier Oil meminta kepada pemerintah Natuna untuk menyiapkan kelengkapan. Misalnya kantor Bea Cukai, Sah Bandar, Petugas Karantina dan Imigrasi, karena awal November ini kapal-kapal pembawa logistik dan lain nya mulai beroperasi di Natuna.
Plt Bupati Natuna, Raja Amirullah menyambut baik kunjungan kerja BP Migas dan Premier Oil ke daerahnya.
natuna
Posisi Natuna yang Strategis
sumber:
http://www.kaskus.us
http://www.tribunnews.com
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Pulau Karimun Jawa



Taman Nasional Karimunjawa

Taman Nasional Karimunjawa merupakan gugusan 27 buah pulau yang memiliki tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, padang lamun, algae, hutan pantai, hutan mangrove, dan terumbu karang.

Tumbuhan yang menjadi ciri khas Taman Nasional Karimunjawa yaitu dewodaru (Crystocalyx macrophyla) yang terdapat pada hutan hujan dataran rendah. Kelompok algae yang dapat dijumpai terdiri dari tiga kelompok yaitu algae hijau, algae coklat, dan algae merah. Hutan pantai dan hutan mangrove dicirikan dengan adanya ketapang (Terminalia cattapa), cemara laut (Casuarina equisetifolia), jati pasir (Scaerota frustescens), setigi (Strebus asper), waru laut (Hibiscus tiliaceus), dan bakau hitam (Rhizophora mucronata).

Jenis terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa merupakan terumbu karang pantai/tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan beberapa taka (patch reef). Kekayaan jenisnya mencapai 51 genus, lebih dari 90 jenis karang keras dan 242 jenis ikan hias. Dua jenis biota yang dilindungi yaitu akar bahar/karang hitam (Antiphates spp.) dan karang merah (Tubipora musica).

Biota laut lainnya yang dilindungi seperti kepala kambing (Cassis cornuta), triton terompet (Charonia tritonis), nautilus berongga (Nautilus pompillius), batu laga (Turbo marmoratus), dan 6 jenis kima.
Keanekaragaman satwa darat di taman nasional ini tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan satwa perairan. Satwa darat yang umum dijumpai antara lain rusa (Cervus timorensis subspec), kera ekor panjang (Macaca fascicularis karimondjawae); 40 jenis burung seperti pergam hijau (Ducula aenea), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), trocokan/merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), betet (Psittacula alexandri), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), dan ular edhor. Burung elang laut perut putih merupakan satwa yang terancam punah di dunia.
Di sekitar Pulau Kemujan terdapat bangkai kapal Panama INDONO yang tenggelam pada tahun 1955, dimana pada saat ini menjadi habitat ikan karang dan cocok untuk lokasi penyelaman (wreck diving).
Dari gugusan pulau-pulau yang berjumlah 27 buah, lima buah pulau diantaranya telah berpenghuni yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting. Pulau Karimunjawa menjadi pusat kecamatan yang berjarak ± 83 km dari Kota Jepara (pusat pengrajin ukiran kayu yang terkenal di Indonesia).

Nama Karimunjawa berasal dari zaman Sunan Muria yaitu salah satu tokoh penyebar Agama Islam. Sunan Muria melihat pulau-pulau di Karimunjawa sangat samar dari Pulau Jawa (kremun-kremun soko Jowo). Peninggalan-peninggalan Sunan Nyamplungan/Amir Hasan (anak dari Sunan Muria) seperti ikan lele (Clarias meladerma) tanpa patil, makam Nyamplungan, kayu dewodaru, sentigi, kalimosodo, dan ular edhor, dikeramatkan oleh penduduk Karimunjawa.

Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:

Pulau Menjangan Kecil, Menjangan Besar, Tanjung Gelam, Legon Lele, Genting, Kembar, Parang, Cemara dan Krakal. Wisata bahari seperti berlayar, selancar air, ski air, berenang, berjemur di pantai pasir putih, berkemah, wisata budaya, pengamatan rusa dan burung serta menyelam/snorkeling. Paket wisata untuk mengunjungi pulau-pulau tersebut dapat menghubungi biro perjalanan di Semarang/Jepara (tour satu sampai dengan tujuh hari).
Atraksi budaya di luar taman nasional yaitu Festival Durian dan Lomban pada bulan Januari/Maret di Jepara.
Musim kunjungan terbaik: bulan April s/d Oktober setiap tahunnya.
Cara pencapaian lokasi: Semarang-Jepara menggunakan bis selama 1,5 jam, Jepara (Pelabuhan Kartini) menuju Karimunjawa dengan naik Fery/kapal motor dengan lama perjalanan ± 6 jam, dan hanya ada satu kali dalam seminggu (Senin). Dari Semarang (Bandara Achmad Yani) menuju Pulau Kemujan (Bandar Dewodaru) dengan pesawat udara, sekali dalam seminggu (untuk sementara jalur penerbangan tersebut tidak diaktifkan).




Sumber : http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_karimun.htm
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Adaptasi terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di KTI

Pulau-pulau Kecil adalah Kedaulatan Bangsa
Masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh dampak dari dari perubahan pada lingkungan akibat perubahan pola-pola cuaca dan iklim, karena mereka sangat bergantung pada hasil alam. Ancaman kenaikan permukaan air laut atau ketidakpastian musim tanam akibat cuaca tidak menentu berpengaruh langsung ke penghidupan keluarga. Namun demikian masyarakat ini juga telah adalah kelompok yang memiliki kearifan lokal dan motivasi yang paling kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Demikian hasil resume yang dibacakan oleh Armi Susandi, Pokja Adaptasi Perubahan Iklim dari DNPI. Resume ini adalah hasil dari Diskusi Regional Forum KawasanTimur Indonesia (Forum KTI) Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil Di kawasan Timur Indonesia yang berlangsung di Sengigi, Lombok Barat, NTB.
Jika mengacu pada hasil talkshow yang digelar di acara tersebut dengan menghadirkan narasumber berkompeten terkait tema diskusi, sangat jelas, pulau-pulau terkecil di Indonesia masih jauh dalam perhatian negara,  bukan saja pada eksistensi keberadaannya tetapi juga pada kehidupan masyarakat yang tinggal di sana.  Orang Pulau demikian sebutan bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil di Indonesia, akan sangat identik dengan ketertinggalan dalam pembangunan, kesejahteraan yang minim, akses yang sulit dijangkau, dan resiko keselamatan hidup yang rawan. ”Alasannya bisa saja karena akses yang jauh dan keterbatasan negara dalam memantau keberadaan dan kondisi pulau-pulau kecil kita. Sehingga yang terjadi, pengawasan dan perhatian terhadap kawasan itu tidak maksimal. Padahal pulau-pulau kecil Indonesia adalah bagian dari negara ini, dan banyak penduduknya di sana hidup dalam kemiskinan,” ungkap Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian dan juga sebagai Steering Committee dalam Diskusi Regional FKTI (Forum Kawasan Timur Indonesia, dalam sebuah wawancara setelah rehat acara talkshow.
Dalam sebuah kesempatan talkshow dengan tema, “Pencarian alternative penghidupan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil,” Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad, mengungkapkan, sebanyak 7,8 juta jiwa yang bermukim di 10.639 desa pesisir atau 23% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia masuk kategori warga miskin yang berpenghasilan hanya 1 dolar AS per hari. Hal ini menjadi nilai tambah kerentanan lainnya yang harus dihadapi keseharian masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir.

“Selain masalah kemiskinan, di pulau-pulau kecil dan pesisir juga identik dengan tingginya kerusakan sumber daya alam, rendahnya kemandirian organisasi soasial desa, serta rendahnya infrastruktur desa juga kesehatan lingkungan di pemukiman. Sehingga ini semakin memperparah kerentanan mereka,” tambah Sudirman.
Dia memberikan contoh, karena terdesaknya kebutuhan hidup yang harus dihadapi masyarakat yang tinggal di lingkungan seperti ini, sejumlah perusakan terhadap hutan mangrove dan juga perusakan terumbu karang yang dilakukan masyarakat memperburuk kondisi alam mereka. Namun dia juga mengakui, salah urus dan kebijakan yang tepat juga menjadi soal utama rusaknya ekologis yang sering dihadapi pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia.

“Kejadian bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 misalnya, kita baru disadarkan betapa berartinya mangrove bagi keselamatan masyarakat kita yang hidup di pulau-pulau dan pesisir ketika harus menghadapi gelombang besar. Masyarakat yang tinggal dengan mangrove yang masih bagus, korbannya tidak banyak jika dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mempunyai mangrove. Tapi ini hanya salah satu contoh, tentang kondisi yang terjadi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,” tandas Sudirman.
Berdasarakan fakta tersebut, Sudirman selaku Dirjen KP3K mengaku telah berupaya menginisiasi suatu program inovatif  dalam mengurangi kerentanannya yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). PDPT diharapkan bisa menata dan meningkatkan kehidupan desa pesisir/nelayan berbasis masyarakat. Dalam data DKP disebutkan, sasarannya adalah 6.639 Desa pesisir, 16 cluster desa dengan kriteria mempunyai potensi lokal unggul, mempunyai kondisi lingkungan permukiman kumuh, terjadi degradasi lingkungan permukiman kumuh, rawan bencana dan perubahan iklim. PDPT akan lebih mefokuskan diri pada coastal village community dimana partisipasi komunitas desa pesisirlah yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan program ini.

Bisa jadi DKP telah melakukan sesuatu untuk kesejahteraan dan kedaulatan bagi pulau-pulau kecil untuk Indonesia, namun masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, meski tidak banyak, jauh sebelumnya sudah  melakukan berbagai upaya dalam mempertahankan hidupnya yang lebih baik.   Termasuk mencari alternatif ekonomi lebih dari satu. Menurut Program Director Locally Managed Marine Area (LMMA) Indonesia Cliff Marlessy, seperti yang dilansir Koran Kompas (18/10/2011), disebutkan, dalam menghadapi dampak perubahan iklim, masyarakat pulau kecil yang terisolasi dengan pulau besar akan berbahaya jika hanya mengandalkan satu sumber ekonomi. Sebab, ketika satu sumber itu gagal, tidak ada lagi yang bisa mereka harapkan, sementara daerah mereka terisolasi. Pemerintah seharusnya bisa mendorong upaya ini lebih baik lagi.

Karena sebagai masyarakat yang tinggal di kepulauan saat ini, sangat sulit hanya mengandalkan penghidupan dengan mencari ikan di laut. Ketika musim air gelombang pasang dan badai datang, ini akan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan dan ekonomi masyarakat tersebut. Cliff juga memberikan contoh yang telah ditunjukkan masyarakat Pulau Tanimbar Kei, di Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, dapat hidup mandiri secara ekonomi, dan mereka juga mempunyai ketahanan pangan yang baik, karena mereka mempunyai tujuh sumber ekonomi, yakni ikan, kopra, tripang, sirip hiu, sejenis kerang-kerangan, yakni lola dan abalone, serta rumput laut.

Data BaKTI menyebutkan, sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km,  Indonesia memang merupakan salah satu negara di dunia yang akan mengalami dampak serius dari perubahan iklim global ini. Berdasarkan catatan stasiun pasang surut di KTI khususnya Kupang, Biak dan Sorong maka elevasiparas muka air laut di kawasan tersebut meningkat sejak tahun 1990 hingga kini. Dalam periode 2005-2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Dari jumlah pulau tersebut 3 pulau di Papua dan satu pulau di Sulawesi Selatan. Dengan peningkatan 8-30 cm permukaan laut, diprediksikan Indonesia akan kehilangan 2000 pulau kecil pada tahun 2030.

Sementara Alex juga mengatakan bahwa memberikan nama atas pulau-pulau kecil terluar di Indonesia juga sangat penting. Karena dengan demikian konsukuensinya pemerintah bisa tahu, bahwa Indonesia juga termasuki pulau-pulau kecil yang berpenghuni dan tidak berpenghuni itu adalah status kedaulatan negara. Kini ada 92 pulau telah diberi tanda kedaulatan dengan simbol Patung Soekarno Hatta melalui ekspedisi Garis Depan Nusantara.

Tawaran dan solusi untuk tantangan pembangunan yang terkait dengan adaptasi, yaitu :
1.    Perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, dengan tidak melupakan kearifan lokal. Kebijakan yang diimplementasikan hendaknya berpihak kepada masyarakat pesisir serta memastikan adanya sinergi antara program dan anggaran pemerintah, lembaga mitra internasional serta masyarakat.
2.    Mendorong pulau‐pulau yang berdekatan untuk bekerja sama dan saling menguatkan, dengan mengandalkan produk dan kelebihan komparatif yang dimiliki oleh masing‐masing pulau. Kerjasama ini merupakan permulaan dari gerakan kemandirian pulau yang diharapkan mendorong pulau‐pulau lain untuk melakukan hal serupa.
3.    Kerawanan pangan hendaknya dilihat tidak hanya dengan menekankan pada beras sebagai satusatunya komoditi pangan, tapi mendorong konsumsi komoditi‐komoditi pangan lain yang sesuai dengan budaya, sejarah dan kondisi alam setempat.
4.     Mendorong promosi dan replikasi 12 inisiatif cerdas yang diangkat lewat Diskusi Regional ini, yang merupakan tawaran solusi untuk tantangan di bidang penyediaan air bersih, penyediaan listrik, ketahanan pangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil serta pendidikan lingkungan hidup, ke berbagai wilayah Kawasan Timur Indonesia dan tingkat nasional.
5.    Mendukung rencana strategi nasional untuk pembangunan di kawasan daerah tertinggal, pesisir, dan pulau‐pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, melalui upaya‐upaya adaptasi yang diangkat dalam Diskusi Regional ini.


Mereka yang Berjuang Sendiri untuk Adaptasi Perubahan Iklim
“Saya tidak menyangka, ternyata alang-alang liar yang sering saya lihat di Maluku bahkan di samping halaman rumah saya adalah sorgum yang bisa dikonsumsi, dan gizinya bernilai tinggi. Ini sesuatu yang baru dan berarti buat daerah saya,”  ujar Dr. Hesina Johana Huliselan, salah satu peserta Diskusi Regional FKTI (Forum KawasanTimur Indonesia) dengan tema, “Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di (KTI) KawasanTimur Indonesia, yang berlangsung pada 17-18 Oktober, di Senggigi, Lombok Barat, NTB (Nusa Tenggara Barat).

Hesina adalah  satu dari 144 peserta di wilayah 12 provinsi timur Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut. Dia merupakan peserta dari kalangan akademisi, anggota Pokja pengembangan pembangunan KTI, dan pejabat pemerintah Maluku (Sekda Maluku),  yang mengikuti sesi diskusi paralel di acara tersebut. Dalam diskusi, beberapa tema yang mengedepankan upaya adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat digulirkan. Salah satu sesi diskusi yang diikuti Hesina tentang, “Sorgum bergizi, sorgum berduit,” yang dilakukan oleh Maria Loretha, 42, petani asal NTT. Hadirnya Tata, demikian sapaan akrab Maria Loretha, dalam ruang tersebut cukup memberikan inspirasi bagi  sejumlah peserta lainnya yang mempunyai kondisi alam di wilayahnya kurang lebih sama dengan di NTT. Termasuk Maluku, dimana Hesina tinggal.
“Saya pikir ini akan bagus jika dikembangkan lebih baik lagi di Maluku. Karena dalam penjelasan ibu Maria tadi, tanaman ini cukup tahan terhadap perubahan iklim. Bagus untuk memikirkan ketahanan pangan kita berikutnya,” jelas Hesina.

Ini hanyalah salah satu respon positif yang mencuat dalam rangkaian diskusi paralel yang disebut oleh Erna Witoelar, Anggota Dewan Penasihat BaKTI, selaku tuan rumah penyelenggara acara ini, sebagai development market place (bursa pembangunan).  Dalam konferensi Pers yang dilakukan menjelang acara tersebut, Erna menjelaskan arti diadakannya bursa pembangunan sebagai wadah mempertemukan para pihak, yaitu masyarakat, akademisi, pemerintah terkait, LSM dan praktisi isu perubahan iklim. Sehingga dari forum ini memunculkan sisi penawaran dan sisi permintaan dari berbagai bidang terkait adaptasi di pulau-pulau kecil dan pesisir.

“Memang kegiatan yang berlangsung dua hari ini tidak langsung menjawab persoalan yang begitu kompleks, tapi dengan berdiskusi, bertemu, mudah-mudahan bisa menghasilkan keputusan dan kerjasama yang konkret di antara mereka pada berikutnya,” jelas Erna.

Senada juga diungkapkan Ketua Dewan Pembina Yayasan BaKTI, Willy Toisuta. Diskusi regional ini tidak hanya memperlihatkan duduk soal dampak perubahan iklim yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil, tetapi juga untuk membahas mata pencaharian alternatif sebagai bentuk adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim. Mendengarkan pengalaman masyarakat yang terkena dampak menjadi lebih penting dan diharapkan bias mudah dipahami.
“Dari sini, kami berharap pemerintah dan lembaga terkait yang peduli terhadap dampak perubahan iklim masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir bisa mencari dan menyusun strategi nasional dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan, serta percepatan pembangunan di pulau-pulau kecil,” jelas Willy.

Lebih dari itu, semua pihak bisa melihat dengan jelas duduk persoalan perubahan iklim secara umum terutama dampaknya bagi kehidupan masyarakat, dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dilakukan masyarakat di pulau-pulau kecil.

“Masyarakat kita yang berada di pulau-pulau kecil atau pesisir adalah  objek yang dekat dengan perubahan iklim. Mereka  perlu sentuhan informasi, pengetahuan dan pemahaman terhadap perubahan iklim yang ada. Sebagian dari mereka telah mempunyai upaya sendiri dalam mengatasinya dengan kearifan lokal yang dimiliki, namun itu pun belum cukup, jika tidak ada pengetahuan dan akses informasi yang memadai dalam mendukung kegiatan mereka. Diskusi regional ini jelas strategis bagi peserta untuk bisa saling berkomunikasi dan merespon,”tambah Erna yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan ini.
Kegiatan diskusi regional FKTI ini sudah kali keduanya, dihadiri unsur pemerintah, aktivisi LSM, akademisi, dan mitra donor pembangunan. Acara ini  diselenggarakan oleh  Yayasan BaKTI dengan dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, KOMPAS, dan beberapa mitra pembangunan internasional.

Dari Sorgum hingga air laut menjadi tawar
Contoh budi daya sorgum yang dilakukan Tata seperti menyentak sebagian peserta tentang arti makanan lokal bagi ketahanan pangan di suatu wilayah. Kehadiran Tata juga menjelaskan tentang sesuatu yang telah lama ditinggalkan dalam budaya bertani di wilayah NTT, yang kini dikenal sebagai provinsi yang mempunyai tingkat kerawanan pangan tinggi tersebut. Dalam sebuah wawancara di sela rehat acara diskusi, Tata menjelaskan, betapa sulitnya dia mendapatkan bibit sorgum (Sorghum spp). Sorgum adalah sejenis gandum atau padi-padian, yang sesungguhnya tanaman lokal di NTT. Dulunya tanaman ini sangat mudah ditemukan di ladang-ladang petani, namun kini sorgum telah menjadi tanaman langka dan jarang dikonsumsi lagi oleh masyarakat NTT. Bahkan, Maria perlu “berjuang” lama dalam mendapatkan jenis bibit sorgum sebelum membudidayakannya dengan tekun di areal miliknya seluas 6 Ha, di desa terpencil Pajinian-Adonara Barat, Flores Timur.

“Perkenalan saya terhadap sorgum itu di tahun 2007, saat tetangga saya mengantarkan bolu kukus sorgum. Rasanya enak dan gurih.  Saya bertanyalah, kuenya dibuat dari apa, ketika dijelaskan kue itu berasal dari sorgum, saya tidak mengetahuinya dengan baik. Saya pun, meminta tetangga saya memberikan bibitnya untuk saya tanam. Tapi itu sangat sedikit, tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi keluarga saya. Saya pun mulai mencarinya di tetangga-tetangga saya. Sejak itu saya tahu, ternyata dulu di NTT para petani suka menanaman dan mengkonsumsinya. Banyak warga NTT mengkonsumsi sorgum. Tapi itu dulu. Cerita ini saya dapat dari para orang tua tetangga saya. Nyatanya, hingga kini saya sulit mendapatkan bibit sorgum. Saya baru mendapatkan enam jenis bibit sorgum yang kini tengah saya budidayakan,” jelas Sarjana Hukum, Universitas Merdeka Malang ini.

Hingga kini, Tata tidak bisa memahami, kenapa tanaman yang justru cocok ditanam di NTT tidak dikembangkan dan dibudidayakan dengan baik oleh pemerintah setempat. Padahal sudah sangat jelas, tanaman ini sangat cocok di tanam di lahan kering seperti halnya NTT. Dia menilai masyarakat dan pemerintah, bahkan selalu menyamakan panganan wajib itu sama dengan beras. Padahal makanan pokok, yang selama ini dikonsumsi orang Timor-Flores adalah ubi, keladi, jagung lokal, pisang dan sorgum.
“Sayangnya kebijakan pertanian yang sering diambil adalah berasinasi, dan jagung hibrida yang tidak awet disimpan masyarakat. Jadi kini saya bisa memahami kenapa sorgum kini sulit sekali didapat, saya tidak tahu bagaimana cara berpikir pemerintah,” jelas Tata, lagi.

Kondisi yang digambarkan Tata adalah kenyataan yang kini dihadapi para petani di sejumlah wilayah Indonesia. Terutama para petani di daerah kering, pesisir dan kepulauan kecil seperti di wilayah Timor-Flores dimana Tata tinggal. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seringkali tidak bisa menangkap apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Bantuan pertanian yang diberikan, misalnya, lebih mengedepankan nilai proyek dibandingkan membangun kesinambungan ketahanan pangan masyarakat setempat. Masalah ini pula mendapatkan sorotan tajam dari Illyas Dg. Laja, dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia.

“Kebijakan pemerintah di pertanian memaksakan petani untuk menanam komoditi ekspor yang karaktek tanamannya tidak sesuai dengan budaya, geografis dan iklim di suatu wilayah. Kadang hal itu justru merusak lingkungan dan mematikan karaktek petani setempat,” jelas Illyas dalam salah satu acara talk show bertema, “Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim,” yang juga menjadi salah satu menu dalam rangkaian kegiatan tersebut.

Keluhan ini, kemudian dijawab oleh DR Ir Haryono MSc, Kepala Litbang Departemen Pertania RI, selaku pembicara dalam talk show tersebut bahwa pemerintah pusat tidak mempunyai wewenang dalam memcampuri kebijakan Pemda. Pusat hanya lebih mefokuskan pada kebijakan swasembada beras sebagai tanaman yang dipercaya menghasilkan makanan pokok bangsa ini, sementara pada tanaman spesifik seperti halnya jagung dan lainnya, termasuk sorgum, pengaturannya menjadi wewenang pemerintah daerah.
Kendati jelas soal ketahanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia termasuk NTT, misalnya lebih disebabkan tidak tepatnya kebijakan pertanian yang dikeluarkan, seringkali perubahan iklim menjadi kambing hitam favorit untuk dipersalahkan atas terjadinya duduk persoalan kerawanan pangan di suatu wilayah, seperti yang dialami NTT. Nixon Balukh Sp, MSi, selaku Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, yang juga menjadi pembicara dalam talk show tema yang sama menjelaskan, di provinsinya kini tengah mengalami gagal tanam dan panen, yang memang lebih banyak disebabkan adanya perubahan iklim.
Sebagai catatan saja, Provinsi NTT kini dikategorikan sebagai provinsi rawan pangan yang parah. Dalam berita BBC Indonesia yang dilansir baru-baru ini menyebutkan dalam satu atau dua bulan ke depan 10.000  di sembilan kabupaten provinsi ini akan mengalami kerawanan pangan yang parah. Hal ini disebabkan para petani mengalami gagal tanam dan panen karena musim tidak menentu. Berita lainnya yang dilansir Viva news menyebutkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) membangun kantor bupati baru senilai Rp33 miliar ketika puluhan ribu warga yang menetap di 150 desa yang tersebar di 32 kecamatan dilaporkan terancam rawan pangan serius.

Memperlihatkan keironian ini menjadi penting dalam melihat duduk persoalan perubahan iklim dan masyarakat kecil yang terkena dampaknya. Fenomena perubahan alam bernama perubahan iklim semakin memperparah akumulasi persoalan soal ketahanan pangan yang lebih banyak disebabkan salah urus dan tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan.

 “Tanaman jagung hibrida yang sering disodorkan pemerintah kepada para petani, misalnya, justru tidak bisa disimpan dalam waktu lama untuk petani menghadapi musim paceklik, misalnya. Tidak seperti jagung-jagung lokal, bahkan sorgum. Tapi hingga kini, saya masih sulit mendapatkan bibit-bibit panganan lokal ini. Petugas PPL juga tidak aktif untuk melakukan pembinaan kepada petani terkait dengan tanaman lokal. Makanya, begitu saya mendapatkan beberapa bibit sorgum, saya menyimpan, mengembangkan dan membudidayakannya. Saya juga menawarkan tetangga dan petani lainnya di sekitar saya bibit-bibit sorgum yang saya miliki jika mereka berminat menanamnya,” tandas Tata.

Contoh adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Maria Loretha alias Tata, hanyalah satu dari sekian contoh yang telah dilakukan masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir dalam menghadapi perubahan iklim.  Tidak semua petani di NTT bisa secerdas Tata yang berusaha mencari tahu sendiri kebutuhan yang diminatinya, dan juga tentu saja punya modal serta lahan yang baik. Sekarang ini Tata sibuk menularkan pengetahuannya dalam bertanam sorgum ke sejumlah petani yang berminat menanam. Dia bahkan dengan suka cita akan memberikan bibitnya secara gratis.

Selain Tata, ada juga seorang guru muda, Murniadi SPd, asal Langkese, yang mengajar di pulau kecil bernama Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kendati dia bukanlah orang asli pulau tersebut, namun melihat kondisi pesisir pulau ini yang mengalami abrasi membuatnya cukup prihatin. Seperti halnya Tata, tanpa dibantu siapa pun, Murni mulai berinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Dia memulai melalui muridnya. Sebagai catatan, di kepulauan ini hanya ada sekitar 250-an murid SD dan SMP.  Sementara gurunya hanya ada enam orang dan kini ada tambahan dua lainnya di sana, termasuk dirinya.

“Saya masuk ke pulau itu di tahun 2007. Niatnya hanya ingin mengajar anak-anak itu, karena mereka butuh guru. Karena di pulau dan jauh, saya dan kawan-kawan guru memang harus tinggal di sana. Saya sangat menyukai pulau itu, sehingga setiap ada waktu, saya sempatkan keliling dari pantai ke pantai. Pantai yang ada bakaunya begitu indah. Kondisinya jauh lebih baik. Mudah sekali menemukan biotanya di sana. Tapi sebaliknya pantai yang sudah kehilangan bakau makin tergerus ombak tiap kali musim gelombang laut naik. Menurut cerita para orang tua di sana, dulu kawasan pantai pulau ini memang dipenuhi pohon bakau. Mereka masih menemukan burung-burung, monyet, kerang bakau, ikan. Masyarakat di sini juga  di sini tidak perlu khawatir kalau air laut mulai naik ke permukaan, “ jelas Murni.
Dari hasil “jalan-jalan” dan “ngobrol” dengan para ibu dan orang tua di sana terkait dengan kondisi pantai di pulau itulah, membuatnya mulai berpikir, dia harus melakukan sesuatu. Dia ingin yang memulai langkah tersebut bukan dirinya, tapi anak-anak, murid-muridnya.  Murni pun mulai memasukkan muatan-muatan kesadaran tentang arti pentingnya hutan bakau bagi kawasan pantai di kepulauan kepada murid-muridnya. Pada pelajaran IPA, dia membawa muridnya ke lapangan. Dia meminta kepada para muridnya memberikan catatan perbedaan kehidupan yang mereka temukan di pantai yang banyak bakau dan pantai yang jarang tanaman bakau. Pelajaran Bahasa Indonesia dia meminta kepada murid-muridnya untuk menuliskan hasil  pengamatannya tentang dua kondisi tersebut.

“Dari sana mereka mulai berpikir sendiri. Misalnya dia bilang ke saya, Bu, ternyata kalau pantai kita ada mangrove sangat baik menjaga lingkungan rumah kita dari abrasi pantai, atau kalau kita tanam bakau pasti akan banyak kehidupan lagi yang tumbuh di pulau ini, sehingga bisa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Tanpa saya suruh dan minta, di suatu hari Minggu pagi, mereka mengajak saya untuk menanam pohon bakau. Bibitnya kami ambil dari pohon-pohon bakau sekitar pulau,” jelas Murni yang berasal dari keluarga besar guru ini.

Hasilnya kini, wajah Tanakeke jauh lebih hijau, dan pantainya mulai terjaga. Pohon-pohon bakau yang mereka tanam sejak 2007 kini bertumbuhan dengan sangat baiknya. Murni selalu mengatakan itu adalah hasil ide, kerja dan kepedulian para muridnya. Kini kegiatan menghidupkan kembali  bakau di kepulauan itu tidak hanya dilakukan oleh murid-murid Murni, tapi hampir keseluruhan warga kepulauan tersebut, termasuk para ibu di sana.

Kisah Murni, ini diminati sejumlah peserta yang saat itu berada dalam bursa pembangunan. Sesi yang dia presentasikan bertema, “Aksi di pesisir untuk keberlanjutan hidup.” Beberapa peserta lain menanyakan proses-proses awal bagaimana Murni menemukan ide dan mengajak serta masyarakat di sana, terutama anak-anak. Dia juga cukup mahir menjelaskan tentang cara-cara menanam bakau yang baik dan benar.
Selain Murni dan Tata, ada Yosep Elsoin yang menceritakan tentang kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Tanimbar Kei, satu-satunya wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Hindu di Kawasan Timur Indonesia. Di daerah ini terbentuk beberapa Kelompok Pelestari Kampung yang bededikasi tinggi dalam melestarikan alam dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan juga para petinggi adat di sana. Perpaduan aturan adat (dikenal dengan sebutan sasi) dan pendekatan adaptasi membuat populasi Trochus di daerah itu meningkat tajam. Pemberdayaan ekonomi alternatif di daerah ini seperti pengelolaan rumput laut, kini mengalami banyak perkembangan. Di kampung Ohoiren,  populasi biota laut langka seperti sea cucumbers dan trochus turut meningkat dengan adanya aturan adat atau sasi.

Berdekatan dengan Tanimbar ada Simon Morin di wilayah Meos Mangguandi, sebuah kampung di Distrik Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua adalah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat pesisir di timur Indonesia yang hingga sekarang memegang teguh aturan-aturan tersebut, yang juga dikenal sebagai Sasi. Sasi di wilayah ini digunakan untuk menjaga ketersedian pasokan ikan dan juga melindungi beberapa jenis ikan yang mulai jarang terlihat.  Secara perlahan, perubahan kualitas hidup terumbu karang di Kepulauan Padaido, khususnya di Meos Mangguandi, mulai terlihat. Kini terumbu karang semakin ramai dihuni oleh berbagai jenis ikan.

Sementara di Sulawesi Tengah, para peserta juga belajar dari Anwari warga desa Togean, Kabupaten Tojo Unauna. Dia bersama Yayasan Palu Hijau dan Sekolah Tinggi Perikanan Kelautan Palu, menginisiasi adanya desalinisasi air laut menjadi air tawar. Kisah ini pun cukup diminati, karena sebagian peserta juga tinggal di kepulauan yang jauh dari daratan, dan masalah mendapatkan air bersih menjadi kendala utama dalam menjalani keharian mereka.

Anwari menjelaskan, jauh sebelum dipasangnya demplot penelitian desalinasi air bersih oleh Bappeda Kabupaten Tojo Unauna pada tahun 2008, masyarakat Togean harus menggunakan air hujan untuk kebutuhan MCK. Sementara untuk kepentingan memasak dan minum mereka harus mendayung 4-6 jam ke pulau tetangga untuk mendapatkan air bersih. Kecamatan Togean merupakan kepulauan dengan luas 229,51 km2. Setidaknya ada 20 pulau kecil, terdiri dari 14 desa, 11 diantaranya berada di pesisir pantai. Masalah mendapatkan air bersih adalah kendala utama bagi penduduk sekita terutama dusun Togean tersebut.
Kini, meski masih dengan keterbatasan, sebuah wadah penampung air laut yang telah ”menyulap” menjadi air tawar lewat proses desalinasi, telah memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga desa yang dikelilingi laut ini. Proses desalinisasi yang dimaksud adalah ada sebuah bak penampung air laut, dengan penutup yang dibuat dari atap seng atau kaca untuk memungkinkan terjadinya presipitasi. Hasilnya adalah gram dan embun (air tawar). Sebuah wadah dengan luas penampang kaca 3,70 meter persegi dapat menampung air laut sebanyak 675 liter. Air tawar yang dihasilkan dalam kurun waktu 6 jam (jam 9 pagi hingga jam 3 petang) adalah 37,5 liter. Siap melayani kebutuhan warga desa Togean.

Termasuk kisah-kisah masyarakat kepulauan Raja Ampat yang secara kreatif menggunaka kapal yang diberinama Kalibia, guna menyebarkan kesadaran dan pengetahuan tentang arti lingkungan yang baik bagi alam sekitar dan manusa. Albert Nebore membawakannya secara menarik saat membawakan sesi Kalabia : Melayarkan sumber pengetahuan dari pulau ke pulau. Para peserta juga dibawa untuk bisa melihat kerja BMKB NTB dalam melakukan sekolah lapang iklim untuk para petani sekitar. Sekolah ini memadupadankan teknologi dan kearifan lokal dalam memperkirakan iklim yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Di Sekolah Iklim para petani belajar melihat tanda-tanda iklim dengan alat sederhana yang dibuat. Setelah memperkirakan kecenderungan iklim yang akan terjadi di beberapa bulan kemudian, para petani  dibekali pengetahuan untuk menentukan jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam. Banyak lagi beberapa diskusi lainnya yang diikuti peserta dari awal hingga selesai.

Memberi pengetahuan solusi atas masalah
”Dari hasil diskusi ini, jelas sekali di tataran komunitas lebih siap jika kita mendengar upaya-upaya mereka sejauh ini. Contoh-contoh seperti ini sebenarnya yang kita butuhkan untuk lesson and learn adaptasi perubahan iklim di masyarakat, karena sejauh ini di Indonesia belum pernah banyak menampilkan pengalaman-pengalaman cerdas yang solutif seperti yang ditunjukkan dalam forum ini. Mudah-mudahan ini bisa membuka mata berbagai pihak terutama pengambil kebijakan untuk meresponnya dengan baik,” jelas Arif Muhammad, dari DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim).

Arif menambahkan pendekatan yang dilakukan dalam merespon kebutuhan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim tidak harus menggunakan teknologi tinggi. Kearifan lokal dan juga upaya sederhana seperti yang terungkap dalam forum bisa dijadikan media, dan pemerintah serta sektor terkait diharapkan bisa meresponnya dengam cepat.

”DNPI sendiri telah melakukan berbagai macam kajian tentang kerentanan dampak perubahan iklim di berbagai daerah di Indonesia. Dokumennya sangat lengkap, dan kami selalu membaginya kepada Pemda yang bersangkutan. Tapi soal adalah, bagaimana kemudian ini ditanggapi oleh Pemda untuk menindaklanjutinya. Kebanyakan kadang hanya jadi dokumen, karena dianggap tidak mempunyai nilai strategis untuk kepentingan politik, atau alasan yang sering di dengar belum menjadi prioritas utama, tau anggaran terbatas,” jelas Arif lagi.

Padahal upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, jelas Arif lagi membutuhkan kerjasama yang kuat diantara sektor-sektor pembangunan. Kedua upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang cukup besar. Keterbatasan anggaran bisa diantisipasi melalui pengalokasian anggaran oleh tiap sektro. Sektor yang dianggap berhubungan langsung dengan dampak perubahan iklim misalnya, harus direspon dengan cepat. Dia juga mengingatkan agar rantai birokrasi proses perumusan program dan strategi implementasi bisa dipersingkat guna meredam atau mengurangi dampak perubahan iklim.

Senada juga diungkapkan Ir. H. La Sara, Msi, Phd dari Sulawesi Tenggara. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari pemerintah terkadang hanya berbasis proyek dan bukan pada kesinambungan keberlanjutan yang tuntas, baik yang dikonkretkan dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan maupun dengan implementasinya.

”Tapi saya pikir, mempertemukan pihak-pihak dari berbagai unsur yang berhubungan langsung dengan isu perubahan iklim sudah tepat. Saya pikir ini menjadi langkah awal yang bagus dalam melihat duduk persoalan dampak perubahan iklim di masyarakat pulau-pulau kecil ini lebih konkret,”tandasnya.

Bagi La Sara yang juga anggota JIKTI dan juga akademisi, hasil diskusi yang diikutinya jelas akan menjadi bahan yang berguna untuk bisa disebar dan dibahas kembali bersama kolega akademisinya dan juga sesama anggota JIKTI dari berbagai daerah di Indonesia Timur.

Lebih dari itu jika meminjam kata-kata dari Dr Ir Alex SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian RI/ SC diskusi regional FKTI ini, bahwa masyarakat pulau-pulau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan bangsa. Jadi seharusnya segala persoalan yang mengancam terhadap kepulauan tersebut harus direspon secara serius. Apalagi perubahan iklim jelas telah mengancam eksistensi hidup dan kehidupan masyarakat di sana.
Acara ini terlaksana atas kerjasama:
Yayasan BaKTI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim dan KOMPAS.
dan didukung oleh:
AusAID, Pemerintah Provinsi NTB, NZAID, OXFAM dan USAID - IMACS


Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Dayak ; Pesona Pedalaman Kalimantan


Samarinda, Kalimantan Timur, menjadi tuan rumah tiga kegiatan kebudayaan dan pariwisata. Masing-masing ialah Festival Borneo, Rapat Koordinasi Wilayah Tujuan Wisata E/Kalimantan ke-16, dan Festival Kemilau Seni Budaya Benua Etam Kalimantan Timur. Yang ditampilkan ialah pesona kebudayaan pesisir dan pedalaman. Lebih khusus, pedalaman berhubungan dengan kehidupan masyarakat asli Kalimantan. Sayangnya, di sana, kemiskinan dan keterisolasian begitu dominan. Menyedihkan.


Kendati demikian, pedalaman ternyata menyimpan pesona tiada tara. Kebudayaan berikut produk-produknya ternyata sangat memesona. Lihatlah keindahan itu dalam tari, musik, lagu, dan pakaian.


Masyarakat pedalaman Kalimantan atau kadang disebut secara generik dengan Dayak adalah pemburu binatang dan pencari buah-buahan hutan yang andal serta peracik tumbuhan hutan sebagai ramuan obat-obatan. Mereka mengandalkan alam. Itulah mengapa alam sangat memengaruhi perjalanan budaya dan menginspirasi seluruh aspek kehidupan mereka.


Pengaruh alam bisa dilihat dari motif binatang, tumbuhan, dan makhluk gaib dalam ukiran tiang, hiasan rumah, perisai, gagang senjata, pakaian tradisional, dan aksesorinya. Dalam tarian khususnya, alam menginspirasi gerak, kostum, dan kata-kata (mantra). Lebih detail, lihatlah betapa alam menginspirasi aksesori budaya pedalaman. Pakaian lelaki terbuat dari kulit binatang atau kulit pohon sedangkan perempuan dari kain atau beludru bertabur manik-manik dan membentuk motif.


Berbagai contoh tadi menandakan betapa mereka sangat dekat dengan alam. Sayang, pesona dan semua kekayaan dari pedalaman mulai digerus tangan-tangan dan birahi serakah. Masih berlangsung berbagai upaya meredupkan kilau pesona pedalaman itu. Ada rasa beruntung bisa menikmati pesona itu yang ternyata masih ada. Namun, sampai kapan pesona itu akan tetap memendar? Semoga saja pesona itu laksana matahari yang bersinar terus selama mungkin.


Sumber http://potensidaerah.ugm.ac.id/?op=berita_baca&id=134
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Save Papua Jangkau Masyarakat Pedalaman


TIMIKA [PAPOS]- Program pelayanan kesehatan menyeluruh yang sering disebut Save Papua yang telah berlangsung sejak tahun 2008 lalu, telah menjangkau hingga ke daerah pedalaman Kabupaten Mimika. Untuk memudahkan pelayanan Dinkes melibatkan 13 puskesmas dalam lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika.
“Kegiatan Save Papua sangat membantu Dinkes dalam hal pelayanan kesehatan rutin hingga ke kampung-kampung. Karena sasaran program ini adalah masyarakat yang ada di kampung-kampung yang selama ini belum mendapat pelayanan kesehatan secara efektif oleh petugas puskesmas atau petugas dadi Dinkes. Program tersebut kita padukan dengan program kabupaten dengan mengikutsertakan semua petugas kesehatan di puskesmas-puskesmas,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, Erens Meokbun, SE.M.MKes di ruang kerjanya, Senin [20/12].
Menurut Erens, Save Papua adalah program pemerintah pusat melalui Kementrian Kesehatan RI dengan sasaran program bagi masyarakat di Provinsi Papua, lebih khusus masyarakat Kabupaten Mimika. Program tersebut mulai bergulir sejak tahun 2008 lalu dengan sumber biaya dari APBN. Tahun 2008 Dinkes Mimika mendapat dana sebesar Rp5 miliar, tahun 2009 turun menjadi Rp4 miliar, dan tahun 2010 sekitar Rp4 miliar.
Dana tersebut untuk membiayai kegiatan pelayanan kesehatan bagi 13 tim yang menyebar pada 13 puskesmas. Tim itu terdiri dari satu orang dokter, satu bidan, satu perawat, satu tenaga gizi atau sanitasi, dan satu tenaga laboeratorium. Setiap tim wajib mengunjungi setiap kampung selama 3 hari untuk melayani pengobatan, pemeriksaan, penyuluhan, termasuk pemeriksaan sampel darah untuk malaria, HIV/ AIDS, TBC, dan berbagai penyakit lainnya.
“Kegiatan ini membawa tim lengkap yangtidak hanya pengobatan bagi yang sakit, tapi pelayanan kesehatan lainnya, seperti pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil (anemia, golongan darah), balita mengenai kurang gizi, dan lain-lainnya. Bahkan ada pelatihan kemandirian bagi masyarakat dalam bidang kesehatan. Selama 3 hari menurut hemat kami sangat sudah cukup sehingga masyarakat mendapat bagian dalam pelayanan kesehatan,” kata Erens.
Erens mengambil contoh seperti Kokonao terdiri dari 7 kampung, berarti petugas harus melaksanakan kegiatan selama 21 hari. Sebagai kepala dinas, Erens mengakui memantau perkembangan dan pelayanan disetiap kampong. Kalau ada petugas yang meninggalkan kampung sebelum tiga hari dinkes akan memberikan sanksi tegas.
Dia menjelaskan keberhasilan 2008, 2009, dan 2010 menjadi bahan evaluasi khusus utuk melanjutkan kegiatan yang sama di tahun 2011 mendatang. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementrian Kesehatan RI telah menyetujui kegiatan serupa pada tahun 2011 dengan harapan ada program pendampingan dari pemerintah daerah. Tahun 2010, sudah ada respon dari Bupati Mimika, Klemen Tinal, SE.MM dengan mengalokasikan dana pendampingan dari Pemda Mimika untuk tahun 2011.
“Sebagai kepala dinas saya berterima kasih kepada Pak Bupati yang telah menyetujui dana pendampingan. Pemda telah mengalokasikan dana sebesar Rp800 juta untuk mensukseskan program Save Papua di Kabupaten Mimika tahun 2011, dengan sasaran masyarakat di 13 puskesmas atau masyarakat di 12 distrik yang ada di Kabupaten Mimika. Dengan metode pelayanan, masih mengikuti pola tahun-tahun sebelumnya, pelayanan menyeluruh meliputi pengobatan, pelayanan kesehatan lainnya, pemeriksaan sampel darah malaria, TBC, HIV/AIDS, penyuluhan kemandirian kesehatan bagi warga, dan penyuluhan perbaikan gizi keluarga dan gizi anak dan balita.[cr-60]
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Pendidikan Perbatasan : Jurus Instan Ala Mendiknas

Persoalan pendidikan di daerah perbatasan masih menjadi ancaman pendidikan nasional. Mereka berhadapan dengan masalah kekurangan tenaga guru dan keterbatasan fasilitas sekolah, akibatnya banyak siswa dan masyarakat di perbatasan yang menghadapi krisis nasionalisme, tingginya buta huruf dan pengangguran. Layanan pendidikan oleh pemerintah pusat dianggap gagal menjangkau daerah perbatasan. Kondisi yang sama juga banyak ditemui pada wilayah pulau terluar, daerah tertinggal, daerah konflik, dan pasca konflik serta daerah korban bencana.

Lemahnya kinerja pemerintah memberikan layanan dasar itu tentu meninggalkan pertanyaan besar. Sebab anggaran pendidikan nasional sangat besar, menyedot lebih dari 20% anggaran negara. Tapi ternyata, besarnya anggaran tidak sebanding dengan membaiknya kinerja Kemendiknas. Pemerintah masih sibuk mengurus perbaikan kesejahteraan guru. Kebutuhan pendidikan lainnya seperti perhatian terhadap pendidikan masyarakat perbatasan terpinggirkan.

Untuk mengatasinya, pemerintah mengambil kebijakan instan yaitu menjalin kerjasama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kerjasama meliputi pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesempatan TNI sebagai pengajar. Pemerintah beralasan sinergitas ini bersifat strategis untuk menjawab kebutuhan akan layanan pendidikan, bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia di seluruh pelosok Tanah Air yang notabene seluruh wilayah tersebut telah dijangkau oleh seluruh satuan TNI.

Kebijakan ini sangat baik, tapi meninggalkan keprihatinan mendalam bagi perkembangan pendidikan nasional. Sebab ketika TNI diberikan kesempatan mengajar tentu menyisakan tanda tanya besar. Pemerintah perlu mengingat tidak semudah membalikkan telapak tangan menjadi seorang tenaga pengajar. Seorang guru dituntut memiliki kompetensi afektif, psikomotorik dan kognitif.

Ketika banyak TNI yang belum pernah mengenyam pendidikan guru, tentu kualitas hasil pembelajaran menjadi dipertanyakan. Pemerintah seharusnya lebih bijak sebelum mengambil keputusan. Sebelum tentara diberikan kesempatan mengajar, seharusnya mereka diberikan dasar-dasar pembelajaran. Semua ini bertujuan agar kualitas pendidikan dapat terjamin dan tidak terjadi penyimpangan proses belajar-mengajar.
Sebaiknya pemerintah jangan melepaskan diri dari kacaunya pendidikan nasional. Keterlibatan TNI sebagai tenaga pengajar meminggirkan peran strategis guru. Ada baiknya, TNI diperbantukan dalam pembangunan infrastruktur dan penelitian bersama sehingga layanan pendidikan di daerah perbatasan dapat berjalan optimal dan sesuai harapan.

Pemerintah juga seharusnya memperbanyak dan meningkatkan kualitas guru. Selama ini, banyak pengajar muda memiliki kompetensi bagus untuk mengajar. Anis Baswedan misalnya mengatakan generasi muda Indonesia banyak yang berminat terhadap program Indonesia Mengajar. Sebuah program menghapus kebodohan dan buta huruf dengan menempatkan lulusan fresh graduate kampus mengajar di daerah terpencil.

Pemberdayaan institusi pendidikan seperti kampus keguruan adalah solusi alternatif mengatasi persoalan pengajar di daerah perbatasan. Sebab guru sebagai instrument penting pendidikan banyak berasal tidak memakai metode “simsalabim” Ketika kampus menghasilkan guru berkualitas, persoalan kekurangan guru terutama di daerah perbatasan dapat diminimalisir.

Mulai sekarang gagasan baik itu harus diteruskan dan dikembangkan. Jangan selalu mencari jalan pintas dengan memakai tenaga pengajar tanpa memikirkan kualitas pendidikan itu sendiri. Jika terus solusi instan terus terjadi, jangan pernah bermimpi pendidikan nasional akan maju.


Oleh: Inggar Saputra, Jakarta.
Pengurus pusat KAMMI dan Peneliti Insure
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Daerah Perbatasan, “Indonesia yang Belum Indonesia”

Disaat masyarakat kota hidup dengan bergemilangan fasilitas yang berkecukupan bahkan lebih, namun jauh dari sudut terpencil dan asing mungkin saja. Mereka hidup dengan keterbatasan ya karena mereka memang tinggal di daerah perbatasan dengan sejuta keterbatasan yang ada. Ironis memang, kita sudah merdeka puluhan tahun tapi tidak berarti bagi masyarakat perbatasan yang selalu hidup dengan keterbatasan.
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di ASEAN bahkan di Dunia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Nias sampai pulau Rote tapi apakah sudah merata pembangunannya….??? Jawabannya adalah belum, bahkan Listrik yang digadai-gadai merupakan sumber penerangan nasional belum mampu menyentuh daerah perbatasan dan terpencil lainnya.
Mungkin inilah yang menjadi kelemahan bangsa yang besar dan hal ini bisa dimanfaatkan oleh negara lain untuk menambah daerah kekuasaannya dan ini sudah terbukti dengan lepasnya pulau sipada dan lingitan.
Indonesia, sebagai negara ASEAN yang memiliki wilayah paling luas tidak memiliki ambisi teritorial untuk mencaplok wilayah negara lain. Hal tersebut sangat berbeda dengan negara tetangga kita, Malaysia, yang tidak pernah berhenti untuk memperluas wilayahnya. Usaha itu di antaranya dengan mengakuisisi pulau-pulau dalam sengketa dan memindah-mindah patok perbatasan darat seperti yang dilakukan oleh Malaysia terhadap Indonesia di mana titik-titik perbatasan darat Indonesia – Malaysia di Pulau Kalimantan selalu digeser oleh Malaysia. Akibat dari aktivitas ilegal Malaysia itu wilayah kita semakin sempit sementara wilayah Malaysia semakin luas. Perkembangan terakhir dalam konsep strategi maritim Malaysia (dengan membangun setidaknya tiga pangkalan laut besar di Teluk Sepanggar, Sandakan dan Tawau) menunjukkan bahwa mereka semakin serius “mengarah ke timur” alias ke perairan antara Kalimantan dan Sulawesi.
Ambisi teritorial Malaysia tidak hanya dilakukan terhadap Indonesia. Kisah sukses Malaysia dalam merebut Pulau Sipadan dan Ligitan dengan cara membangun kedua pulau tersebut saat ini sedang diterapkan oleh Malaysia di Kepulauan Spratley yang menjadi sengketa banyak negara (a.l. Malaysia, China, Vietnam, Philipina) juga dibangun oleh Malaysia. Indonesia yang menjunjung kejujuran dan menganggap bahwa wilayah dalam sengketa tidak boleh dibangun justru dikalahkan oleh hakim-hakim Mahkamah Internasional yang menganggap bahwa pemilik pulau adalah pihak yang peduli dengan wilayahnya. Bukti kepedulian adalah dengan melakukan pembangunan di wilayah tersebut. Mungkinkah Malaysia akan mengulang suksesnya di Sipada dan Ligitan dalam kasus Kepualauan Sprateley? Sumber by klik DISINI
Memang perlahan ketegasan kepemimpinan itu mulai luntur, tidak seperti zamannya Presiden Soekarno yang berani dan dengan tegas mengucapkan perang jika NKRI diganggu oleh bangsa lain. Kini dari 2 periode kepemimpinan Pak SBY yth, hampir saja pulau Ambalat diambil lagi oleh negara tetangga. Dengan gagah mereka masuk ke wilayah perairan kekuasaan Indonesia namun tidak ada tindakan tegas misalnya mengebom AL mereka toh personil Tentara kita jauh lebih banyak. Tapi apa yang pemerintah lalukan dengan gaya soft power pemerintah kita malah membiarkan dengan alasan satu rumpun negara tetangga beberapa kali tetap masuk ke perairan wilayah Indonesia. Apa yang seharusnya pemerintah lakukan, jika melihat kejadian ini bukan tidak mungkin akan terjadi lagi dan lagi….??? Apakah sampai menunggu diambil lagi ya wahai para pemerintah yang berkuasa…
Ada beberapa sich ya mungkin saja bisa diterapkan dalam ketegasan ini misalnya:
  1. Pemerintah berupayan untuk melakukan Pemetaan Kembali pada daerah atau yang menjadi batas Perbatasan Indonesia dengan negara yang dekat dan langsung bersinggungan
  2. Bangun sarana dan prasarana yang bisa menjadi ciri atau tanda adanya kekuasaan Indonesia misalnya membangun Jalan di Sepanjang Perbatasan Darat dengan negara tetangga.
  3. Upaya pembangun Wilayah Baru yang bersinggungan dan berdekatan dengan Perbatasan, jangan hanya pembangunan tertuju pada pusat kota atau kota/wilayah yang baik dan laik.
  4. Agar terciptanya kekuatan yang baru dengan menunjukan ciri kekuatan Negara Indonesia bisa dan harus Pembangunan wilayah atau Pangkalan Militer di Dekat Perbatasan agar dapat menjaga wilayah Indonesia.
  5. Salah satu lemahnya adalah diplomasi kita yang jauh dan seperti tidak mempunyai gigi untuk menggigit kali ya, yups Perkuat Diplomasi Internasional untuk dapat membuat birokrasi internasional kepada negara tetangga lain.
  6. Dirikan bangunan dan fasilitas pendidikan dengan adanya Pembangunan Pendidikan sehingga rasa Nasionalisme akan tetap teguh dipegang oleh WNI yang berada di perbatasan ini.
Hal tersebut diatas merupakan sebagian kecil contoh yang kerap terjadi di daerah perbatasan dan jika ini tetap dibiarkan bukan tidak mungkin lagi wilayah kekuasaan Indonesia akan sempit dan mampu dimanfaatkan oleh negara tetangga untuk memperluas wilayah kekuasaannya.
Wilayah perbatasan merupakan cerminan wajah Indonesia terhadap negara tetangga, ironis memang jika logika kita berpikir, kok wajah yang menjadi halaman terdepan tidak ada bukti yang merata. Ibarat tubuh wajah itu merupakan yang pertama dilihat dan dalam prakteknya dan nyatanya hanya dilihatah perut atau yang ditengah saja pembangunannya besar dan kuat tapi yang terdepan tidak diperhatikan, tanya kenapa…???
Tidak hanya daerah perbatasan kesenian khas Indonesia beberapa kali di kliem atau diakui oleh negara tetangga mulai dari Lagu Rasa Sayange, Taria Reog Ponorogo, Batik, Keris dll dan yang anehnya adalah Setelah dikliem atau diakui oleh negara tetangga kita baru ribut, kenapa bukan dari dahulu saya kita patenkan semua kesenian dan kebudayaan kita ke UNESCO jika sudah terdaftar pasti tidak ada yang bisa merebutnya.
Lain lagi dengan hak paten TEMPE yang sudah dahulu di kliem oleh Jepang (Sumber DISINI) itu merupakan contoh yang telah lalu dan apakah akan tetap dibiarkan…??? Jangan sampai kejadian lagi dan pemerintah harus berupaya untuk tetap menjadi NKRI mulai dari wilayah kekuasaan, keseniaan, kebudayaan, makanan khas dll.
Jika kita berbicara lagi mengenai wilayah perbatasaan, banyak memang yang menarik untuk ditulis. Satu hal saja diperkirakan tidak akan cukup karena memang banyak hal yang dapat ditulis dan ini buka hal yang sulit dilihat dan dirasa tapi ini sudah jelas dan tampak didepan mata kita.
Bagi masyarakat yang hidup di daerah perbatasan, seringkali lebih susah. Seperti warga yang tinggal di Desa Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Sarawak (Malaysia Timur). Mereka bahkan lebih mudah mendapatkan barang makanan, minuman dan pakaian dari Malaysia, bahkan mata uang yang digunakan disana adalah mata uang Malaysia padahal itu merupakan wilayah Indonesia. Di sini, produk-produk dari Malaysia kita sebut produk SDN BDH. Kami suka, karena lebih murah, juga gampang mendapatkannya,” ujar pria paruh baya ini. Raden Nurdin, Ketua Persatuan Pemuda Perbatasan Entikong yang ditemui Jawa Pos mengatakan, warga di Entikong sangat tergantung dengan Malaysia. Dia menambahkan, sebagian besar kebutuhan pokok warga Entikong terutama gula, makanan kaleng dan kemasan berasal dari negeri jiran itu. “Karena itu kami lebih suka damai saja dengan Malaysia,” ujarnya (sumber dan info lengkap klik DISINI)
Sedih juga pas kemarin (Malam hari, 09 feb 2011-red) nonton berita di TV yang mengkisahkan perjuangan para tenaga pendidik didaerah perbatasan. Disana diceritakan kalau tidak salah itu namanya desa babad, yang jauh dari indahnya kota-kota megah khas Indonesia. Bahkan untuk sekolah saja mereka tidak ada dan jarak yang terdekat itu ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 jam, jangankan kendaraan, jalanan saja mereka tidak ada dan satu-satunya transportasi adalah perahu yang ongkos sewanya sangat mahal yaitu Rp. 1,5 jt untuk sekali jalan. Sungguh sedih jika kita yang hidup di kota yang sangat bergelimang fasilitas sementara jauh di perbatasan disana sungguh memprihatinkan.
Dunia pendidikan pun tak luput dari pengamatan penulis ini, ketidaktersediaan SDM guru yang memadai sangat jauh api dari panggang yang artinya kekurangan tenaga guru benar-benar terasa. Bahkan masih sama dengan tayangan TV pada hari tersebut, seorang guru bisa mengajar 2 kelas secara bersamaan dan bukan hal yang asing mereka mengajar beberapa kelas bahkan dalam beberapa hari mereka full mengajar dibeberapa kelas. Belum lagi fasilitas yang sangat jauh dari cukup, jangankan penerangan untuk mengambil gaji per bulan saja mereka harus mengeluarkan kos cek Rp. 1,5 jt untuk sampai pada daerah pengambilan gajinya padahal gajinya itu dibawah Rp. 1 jt, nahh kalau begini bagaimana jadinya ya.
Untuk mencerdaskan generasi mahal sekali bagi guru-guru didaerah perbatasan dan terpencil lainnya, jangan heran kalau mereka tidak bisa berbicara Indonesia karena mereka tidak pernah tersentuh untuk belajar bahasa Indonesia.

sumber : http://faisal14.wordpress.com/2011/02/10/daerah-perbatasan-indonesia-yang-belum-indonesia/
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Nasib Pendidikan Perbatasan Indonesia-Malaysia

Guru adalah profesi mulia. Akan tetapi, perjalanan para guru tak semulus tujuannya. Ada banyak hambatan yang mereka hadapi dalam menjalani profesinya. Sejumlah persoalan yang mencuat adalah keluhan akan kesenjangan yang dialami guru yang mengajar di kota dan non perkotaan, sulitnya memeroleh sertifikasi, tepatnya penyaluran dana tunjangan, dan berbagai persoalan yang lebih kompleks yang dihadapi para guru di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (daerah 3T).


Daerah 3T adalah daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia. Untuk daerah-daerah ini, masalah yang muncul seperti letak geografis dan minimnya sarana serta prasarana. Persoalan-persoalan ini menjadi hambatan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Potret pendidikan di perbatasan pun terkuak dalam diskusi “Mencari Solusi Problematika Pendidikan dan Guru di Perbatasan” yang digelar sejumlah anggota Komisi X, Jumat (25/11/2011), di Gedung DPR, Jakarta.

“Wajah” pendidikan perbatasan sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kota-kota besar, dan negara tetangga yang lokasinya memang tak begitu jauh dan sangat terlihat jelas.

Seorang guru SMAN Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Agustinus mengungkapkan, sekolah tempatnya mengajar hanya berjarak sekitar 100 meter dari batas negara Indonesia dan Malaysia.
Menurutnya, guru-guru yang berada di daerah tersebut harus menelan kenyataan yang kurang baik. Setiap harinya mereka harus menahan rasa “cemburu” ketika melihat negara tetangga memberikan jaminan yang lebih baik dan menjanjikan kepada para gurunya demi pembangunan pendidikan yang berkualitas.
“Negara tetangga jauh lebih baik dan menjanjikan. Sementara fasilitas yang kami terima sangat terbatas, buku penunjang yang minim, dan ada juga sekolah yang harus meminta listrik dari negara tetangga,” kata Agustinus, yang hadir dalam diskusi tersebut.

Ia menambahkan, dari sisi kesejahteraan, guru-guru di daerah perbatasan juga sangat memprihatinkan. Tunjangan yang diberikan oleh pemerintah melalui tunjangan profesi dan tunjangan khusus guru daerah perbatasan masih bias dan tidak jelas.

Agustinus menjelaskan, untuk sertifikasi tahun 2011, seluruh Kalimantan Barat mendapat alokasi 2146 orang. Dari jumlah tersebut, tidak semua guru di Kampas Hulu mendapatkan kesempatan sertifikasi karena hanya mendapat “jatah” 430 orang. Ketika ditanya alasannya kepada pemerintah pusat dan daerah, jawabannya tidak pernah memuaskan karena mereka saling melempar tanggung jawab.

“Di sana ada kesenjangan dan gejolak sosial. Di tujuh kecamatan ada beberapa sekolah yang tidak mendapatkan sama sekali,” ujarnya.

Di Kampas Hulu terdapat tiga kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yaitu Kecamatan Badau, Kecamatan Empana, dan Kecamatan Puring Kencana. Dan hanya ada satu SMA di tiga kecamatan tersebut.

“Maka tak heran jika ada anak-anak yang kemudian sekolah ke Malaysia. Selain menjanjikan, tamatan SMA di sana juga mendapatkan sertifikat life skill dan bisa kerja di Malaysia dengan gaji yang lumayan,” kata Agustinus.

Sumber : http://edukasi.kompas.com
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

INTEGRASI KAWASAN PERBATASAN DALAM KURIKULUM

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia membuat seluruh rakyat Indonesia terhenyak. Lemahnya bukti penguasaan efektif (effective occupation) kawasan perbatasan menjadi poin utama penyebab kekalahan Indonesia di Sidang Mahkamah Internasional, di Den Haag (2002). Peristiwa itu mengilhami penulis mengemas materi kawasan perbatasan sebagai tema utama naskah buku dan menjadi salah satu pemenang Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Pusat Perbukuan Depdiknas 2008.
Pengetahuan tentang geografis Indonesia diajarkan di lembaga sekolah belum beranjak dari sekitar letak Indonesia yang diapit oleh dua samudera dan dua benua serta letak astronomis 95 BT -141 BT dan 6 LU – 11 LS, selebihnya profil negara tetangga. Ada materi penting yang terlupakan, yakni kawasan perbatasan.

Akibatnya ketika terjadi sengketa blok Ambalat – daerah kaya minyak bumi – dengan Malaysia, masyarakat Indonesia sulit memperoleh gambaran secara pasti daerah Ambalat secara faktual apakah berupa hutan belantara, perkampungan, atau lautan. Bukan saja orang awam, para pejabat pun disibukkan mencari literatur maupun ensiklopedi tentang posisi Ambalat sebenarnya.
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Merefleksi Kasus Blok Ambalat

KabarIndonesia - Kasus Ambalat yang telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan Indonesia-Malaysia, patut kita jadikan bahan refleksi. Sebagai bangsa, wajar apabila banyak pihak jengkel, terusik, dan bahkan marah terhadap klaim Malaysia atas wilayah Ambalat yang kita yakini sebagai wilayah Indonesia itu.

Perlu ada pelajaran ditarik dari sana, seperti kemauan untuk membenahi sistem pertahanan dan postur TNI di masa mendatang.

Pertama, klaim Malaysia atas Ambalat selain menggunakan tafsiran atas ketentuan-ketentuan legal menurut mereka sendiri, tampaknya juga didasarkan atas kalkulasi strategis. Di mata Malaysia, Indonesia dianggap tidak memiliki kekuatan penangkal (deterrent) yang memadai. Dengan kata lain, postur pertahanan Indonesia dewasa ini jelas tidak dapat mencegah niat Malaysia untuk mencoba menguasai wilayah Indonesia di Ambalat.

Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE

Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan

Mahkamah Internasional (International Court of Justice) telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan. “Pemerintah Indonesia menerima keputusan akhir Mahkamah Internasional (MI), dan saya sungguh berharap bahwa keputusan MI dalam masalah ini dapat menutup satu babakan dalam sejarah bilateral antara Indonesia-Malaysia,” kata Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda, dalam jumpa persnya di Deplu, Selasa (17/12). Hari ini, pada sidang yang dimulai pukul 10.00 waktu Den Haag, atau pukul 16.00 WIB, MI telah mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, kata menteri, berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. “Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu),” kata Menlu. Di pihak yang lain, MI juga menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE