Pulau-pulau Kecil adalah Kedaulatan Bangsa
Masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil menjadi kelompok yang
paling terpengaruh oleh dampak dari dari perubahan pada lingkungan
akibat perubahan pola-pola cuaca dan iklim, karena mereka sangat
bergantung pada hasil alam. Ancaman kenaikan permukaan air laut atau
ketidakpastian musim tanam akibat cuaca tidak menentu berpengaruh
langsung ke penghidupan keluarga. Namun demikian masyarakat ini juga
telah adalah kelompok yang memiliki kearifan lokal dan motivasi yang
paling kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi di lingkungannya.
Demikian hasil resume yang dibacakan oleh Armi Susandi, Pokja
Adaptasi Perubahan Iklim dari DNPI. Resume ini adalah hasil dari Diskusi
Regional Forum KawasanTimur Indonesia (Forum
KTI)
Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil Di kawasan
Timur Indonesia yang berlangsung di Sengigi, Lombok Barat, NTB.
Jika
mengacu pada hasil talkshow yang digelar di acara tersebut dengan
menghadirkan narasumber berkompeten terkait tema diskusi, sangat jelas,
pulau-pulau terkecil di Indonesia masih jauh dalam perhatian negara,
bukan saja pada eksistensi keberadaannya tetapi juga pada kehidupan
masyarakat yang tinggal di sana. Orang Pulau demikian sebutan bagi
masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil di Indonesia, akan sangat
identik dengan ketertinggalan dalam pembangunan, kesejahteraan yang
minim, akses yang sulit dijangkau, dan resiko keselamatan hidup yang
rawan. ”Alasannya bisa saja karena akses yang jauh dan keterbatasan
negara dalam memantau keberadaan dan kondisi pulau-pulau kecil kita.
Sehingga yang terjadi, pengawasan dan perhatian terhadap kawasan itu
tidak maksimal. Padahal pulau-pulau kecil Indonesia adalah bagian dari
negara ini, dan banyak penduduknya di sana hidup dalam kemiskinan,”
ungkap Dr. Ir. Alex. SW Retraubun, MSc, Wakil Menteri Perindustrian dan
juga sebagai Steering Committee dalam Diskusi Regional FKTI (Forum
Kawasan Timur Indonesia, dalam sebuah wawancara setelah rehat acara
talkshow.
Dalam sebuah kesempatan talkshow dengan tema, “Pencarian alternative
penghidupan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil,” Direktur Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad,
mengungkapkan, sebanyak 7,8 juta jiwa yang bermukim di 10.639 desa
pesisir atau 23% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia masuk
kategori warga miskin yang berpenghasilan hanya 1 dolar AS per hari. Hal
ini menjadi nilai tambah kerentanan lainnya yang harus dihadapi
keseharian masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir.
“Selain
masalah kemiskinan, di pulau-pulau kecil dan pesisir juga identik dengan
tingginya kerusakan sumber daya alam, rendahnya kemandirian organisasi
soasial desa, serta rendahnya infrastruktur desa juga kesehatan
lingkungan di pemukiman. Sehingga ini semakin memperparah kerentanan
mereka,” tambah Sudirman.
Dia memberikan contoh, karena terdesaknya kebutuhan hidup yang harus
dihadapi masyarakat yang tinggal di lingkungan seperti ini, sejumlah
perusakan terhadap hutan mangrove dan juga perusakan terumbu karang yang
dilakukan masyarakat memperburuk kondisi alam mereka. Namun dia juga
mengakui, salah urus dan kebijakan yang tepat juga menjadi soal utama
rusaknya ekologis yang sering dihadapi pulau-pulau kecil dan pesisir di
Indonesia.
“Kejadian bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004
misalnya, kita baru disadarkan betapa berartinya mangrove bagi
keselamatan masyarakat kita yang hidup di pulau-pulau dan pesisir ketika
harus menghadapi gelombang besar. Masyarakat yang tinggal dengan
mangrove yang masih bagus, korbannya tidak banyak jika dibandingkan
dengan masyarakat yang tidak mempunyai mangrove. Tapi ini hanya salah
satu contoh, tentang kondisi yang terjadi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil di Indonesia,” tandas Sudirman.
Berdasarakan fakta tersebut, Sudirman selaku Dirjen KP3K mengaku
telah berupaya menginisiasi suatu program inovatif dalam mengurangi
kerentanannya yaitu Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). PDPT
diharapkan bisa menata dan meningkatkan kehidupan desa pesisir/nelayan
berbasis masyarakat. Dalam data DKP disebutkan, sasarannya adalah 6.639
Desa pesisir, 16 cluster desa dengan kriteria mempunyai potensi lokal
unggul, mempunyai kondisi lingkungan permukiman kumuh, terjadi degradasi
lingkungan permukiman kumuh, rawan bencana dan perubahan iklim. PDPT
akan lebih mefokuskan diri pada coastal village community dimana
partisipasi komunitas desa pesisirlah yang akan menentukan keberhasilan
dan keberlanjutan program ini.
Bisa jadi DKP telah melakukan sesuatu untuk kesejahteraan dan
kedaulatan bagi pulau-pulau kecil untuk Indonesia, namun masyarakat yang
tinggal di
pulau-pulau
kecil, meski tidak banyak, jauh sebelumnya sudah melakukan berbagai
upaya dalam mempertahankan hidupnya yang lebih baik. Termasuk mencari
alternatif ekonomi lebih dari satu. Menurut Program Director Locally
Managed Marine Area (LMMA) Indonesia Cliff Marlessy, seperti yang
dilansir Koran Kompas (18/10/2011), disebutkan, dalam menghadapi dampak
perubahan iklim, masyarakat pulau kecil yang terisolasi dengan pulau
besar akan berbahaya jika hanya mengandalkan satu sumber ekonomi. Sebab,
ketika satu sumber itu gagal, tidak ada lagi yang bisa mereka harapkan,
sementara daerah mereka terisolasi. Pemerintah seharusnya bisa
mendorong upaya ini lebih baik lagi.
Karena sebagai masyarakat yang tinggal di kepulauan saat ini, sangat
sulit hanya mengandalkan penghidupan dengan mencari ikan di laut. Ketika
musim air gelombang pasang dan badai datang, ini akan menimbulkan
dampak buruk bagi kehidupan dan ekonomi masyarakat tersebut. Cliff juga
memberikan contoh yang telah ditunjukkan masyarakat Pulau Tanimbar Kei,
di Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, dapat hidup
mandiri secara ekonomi, dan mereka juga mempunyai ketahanan pangan yang
baik, karena mereka mempunyai tujuh sumber ekonomi, yakni ikan, kopra,
tripang, sirip hiu, sejenis kerang-kerangan, yakni lola dan abalone,
serta rumput laut.
Data
BaKTI
menyebutkan, sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari
17.500 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia memang
merupakan salah satu negara di dunia yang akan mengalami dampak serius
dari perubahan iklim global ini. Berdasarkan catatan stasiun pasang
surut di
KTI
khususnya Kupang, Biak dan Sorong maka elevasiparas muka air laut di
kawasan tersebut meningkat sejak tahun 1990 hingga kini. Dalam periode
2005-2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil (Kementerian
Kelautan dan Perikanan). Dari jumlah pulau tersebut 3 pulau di Papua dan
satu pulau di Sulawesi Selatan. Dengan peningkatan 8-30 cm permukaan
laut, diprediksikan Indonesia akan kehilangan 2000 pulau kecil pada
tahun 2030.
Sementara Alex juga mengatakan bahwa memberikan nama atas pulau-pulau
kecil terluar di Indonesia juga sangat penting. Karena dengan demikian
konsukuensinya pemerintah bisa tahu, bahwa Indonesia juga termasuki
pulau-pulau kecil yang berpenghuni dan tidak berpenghuni itu adalah
status kedaulatan negara. Kini ada 92 pulau telah diberi tanda
kedaulatan dengan simbol Patung Soekarno Hatta melalui ekspedisi Garis
Depan Nusantara.
Tawaran dan solusi untuk tantangan pembangunan yang terkait dengan adaptasi, yaitu :
1. Perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif, terpadu dan
berkelanjutan, dengan tidak melupakan kearifan lokal. Kebijakan yang
diimplementasikan hendaknya berpihak kepada masyarakat pesisir serta
memastikan adanya sinergi antara program dan anggaran pemerintah,
lembaga mitra internasional serta masyarakat.
2. Mendorong pulau‐pulau yang berdekatan untuk bekerja sama dan
saling menguatkan, dengan mengandalkan produk dan kelebihan komparatif
yang dimiliki oleh masing‐masing pulau. Kerjasama ini merupakan
permulaan dari gerakan kemandirian pulau yang diharapkan mendorong
pulau‐pulau lain untuk melakukan hal serupa.
3. Kerawanan pangan hendaknya dilihat tidak hanya dengan
menekankan pada beras sebagai satusatunya komoditi pangan, tapi
mendorong konsumsi komoditi‐komoditi pangan lain yang sesuai dengan
budaya, sejarah dan kondisi alam setempat.
4. Mendorong promosi dan replikasi 12 inisiatif cerdas yang
diangkat lewat Diskusi Regional ini, yang merupakan tawaran solusi untuk
tantangan di bidang penyediaan air bersih, penyediaan listrik,
ketahanan pangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil serta
pendidikan lingkungan hidup, ke berbagai wilayah Kawasan Timur
Indonesia dan tingkat nasional.
5. Mendukung rencana strategi nasional untuk pembangunan di
kawasan daerah tertinggal, pesisir, dan pulau‐pulau kecil di Kawasan
Timur Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal RI, Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, melalui upaya‐upaya
adaptasi yang diangkat dalam Diskusi Regional ini.
Mereka yang Berjuang Sendiri untuk Adaptasi Perubahan Iklim
“Saya tidak menyangka, ternyata alang-alang liar yang sering saya
lihat di Maluku bahkan di samping halaman rumah saya adalah sorgum yang
bisa dikonsumsi, dan gizinya bernilai tinggi. Ini sesuatu yang baru dan
berarti buat daerah saya,” ujar Dr. Hesina Johana Huliselan, salah satu
peserta Diskusi Regional FKTI (Forum KawasanTimur Indonesia) dengan
tema, “Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau-Pulau Kecil di (
KTI) KawasanTimur Indonesia, yang berlangsung pada 17-18 Oktober, di Senggigi, Lombok Barat, NTB (Nusa Tenggara Barat).
Hesina adalah satu dari 144 peserta di wilayah 12 provinsi timur
Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut. Dia merupakan peserta dari
kalangan akademisi, anggota Pokja pengembangan pembangunan
KTI,
dan pejabat pemerintah Maluku (Sekda Maluku), yang mengikuti sesi
diskusi paralel di acara tersebut. Dalam diskusi, beberapa tema yang
mengedepankan upaya adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat digulirkan.
Salah satu sesi diskusi yang diikuti Hesina tentang, “Sorgum bergizi,
sorgum berduit,” yang dilakukan oleh Maria Loretha, 42, petani asal NTT.
Hadirnya Tata, demikian sapaan akrab Maria Loretha, dalam ruang
tersebut cukup memberikan inspirasi bagi sejumlah peserta lainnya yang
mempunyai kondisi alam di wilayahnya kurang lebih sama dengan di NTT.
Termasuk Maluku, dimana Hesina tinggal.
“Saya pikir ini akan bagus jika dikembangkan lebih baik lagi di
Maluku. Karena dalam penjelasan ibu Maria tadi, tanaman ini cukup tahan
terhadap perubahan iklim. Bagus untuk memikirkan ketahanan pangan kita
berikutnya,” jelas Hesina.
Ini hanyalah salah satu respon positif yang mencuat dalam rangkaian
diskusi paralel yang disebut oleh Erna Witoelar, Anggota Dewan Penasihat
BaKTI, selaku
tuan
rumah penyelenggara acara ini, sebagai development market place (bursa
pembangunan). Dalam konferensi Pers yang dilakukan menjelang acara
tersebut, Erna menjelaskan arti diadakannya bursa pembangunan sebagai
wadah mempertemukan para pihak, yaitu masyarakat, akademisi, pemerintah
terkait, LSM dan praktisi isu perubahan iklim. Sehingga dari forum ini
memunculkan sisi penawaran dan sisi permintaan dari berbagai bidang
terkait adaptasi di pulau-pulau kecil dan pesisir.
“Memang kegiatan yang berlangsung dua hari ini tidak langsung
menjawab persoalan yang begitu kompleks, tapi dengan berdiskusi,
bertemu, mudah-mudahan bisa menghasilkan keputusan dan kerjasama yang
konkret di antara mereka pada berikutnya,” jelas Erna.
Senada juga diungkapkan Ketua Dewan Pembina Yayasan
BaKTI,
Willy Toisuta. Diskusi regional ini tidak hanya memperlihatkan duduk
soal dampak perubahan iklim yang dihadapi masyarakat pulau-pulau kecil,
tetapi juga untuk membahas mata pencaharian alternatif sebagai bentuk
adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim.
Mendengarkan pengalaman masyarakat yang terkena dampak menjadi lebih
penting dan diharapkan bias mudah dipahami.
“Dari sini, kami berharap pemerintah dan lembaga terkait yang peduli
terhadap dampak perubahan iklim masyarakat pulau-pulau kecil dan pesisir
bisa mencari dan menyusun strategi nasional dalam menghadapi tantangan
perubahan iklim dan ketahanan pangan, serta percepatan pembangunan di
pulau-pulau kecil,” jelas Willy.
Lebih dari itu, semua pihak bisa melihat dengan jelas duduk persoalan
perubahan iklim secara umum terutama dampaknya bagi kehidupan
masyarakat, dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dilakukan
masyarakat di pulau-pulau kecil.
“Masyarakat kita yang berada di pulau-pulau kecil atau pesisir
adalah objek yang dekat dengan perubahan iklim. Mereka perlu sentuhan
informasi, pengetahuan dan pemahaman terhadap perubahan iklim yang ada.
Sebagian dari mereka telah mempunyai upaya sendiri dalam mengatasinya
dengan kearifan lokal yang dimiliki, namun itu pun belum cukup, jika
tidak ada pengetahuan dan akses informasi yang memadai dalam mendukung
kegiatan mereka. Diskusi regional ini jelas strategis bagi peserta untuk
bisa saling berkomunikasi dan merespon,”tambah Erna yang juga dikenal
sebagai aktivis lingkungan ini.
Kegiatan diskusi regional FKTI ini sudah kali keduanya, dihadiri
unsur pemerintah, aktivisi LSM, akademisi, dan mitra donor pembangunan.
Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan
BaKTI
dengan dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Pengembangan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim,
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, KOMPAS, dan beberapa mitra
pembangunan internasional.
Dari Sorgum hingga air laut menjadi tawar
Contoh budi daya sorgum yang dilakukan Tata seperti menyentak
sebagian peserta tentang arti makanan lokal bagi ketahanan pangan di
suatu wilayah. Kehadiran Tata juga menjelaskan tentang sesuatu yang
telah lama ditinggalkan dalam budaya bertani di wilayah NTT, yang kini
dikenal sebagai provinsi yang mempunyai tingkat kerawanan pangan tinggi
tersebut. Dalam sebuah wawancara di sela rehat acara diskusi, Tata
menjelaskan, betapa sulitnya dia mendapatkan bibit sorgum (Sorghum spp).
Sorgum adalah sejenis gandum atau padi-padian, yang sesungguhnya
tanaman lokal di NTT. Dulunya tanaman ini sangat mudah ditemukan di
ladang-ladang petani, namun kini sorgum telah menjadi tanaman langka dan
jarang dikonsumsi lagi oleh masyarakat NTT. Bahkan, Maria perlu
“berjuang” lama dalam mendapatkan jenis bibit sorgum sebelum
membudidayakannya dengan tekun di areal miliknya seluas 6 Ha, di desa
terpencil Pajinian-Adonara Barat, Flores Timur.
“Perkenalan saya terhadap sorgum itu di tahun 2007, saat tetangga
saya mengantarkan bolu kukus sorgum. Rasanya enak dan gurih. Saya
bertanyalah, kuenya dibuat dari apa, ketika dijelaskan kue itu berasal
dari sorgum, saya tidak mengetahuinya dengan baik. Saya pun, meminta
tetangga saya memberikan bibitnya untuk saya tanam. Tapi itu sangat
sedikit, tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi keluarga saya. Saya pun
mulai mencarinya di tetangga-tetangga saya. Sejak itu saya tahu,
ternyata dulu di NTT para petani suka menanaman dan mengkonsumsinya.
Banyak warga NTT mengkonsumsi sorgum. Tapi itu dulu. Cerita ini saya
dapat dari para orang tua tetangga saya. Nyatanya, hingga kini saya
sulit mendapatkan bibit sorgum. Saya baru mendapatkan enam jenis bibit
sorgum yang kini tengah saya budidayakan,” jelas Sarjana Hukum,
Universitas Merdeka Malang ini.
Hingga kini, Tata tidak bisa memahami, kenapa tanaman yang justru
cocok ditanam di NTT tidak dikembangkan dan dibudidayakan dengan baik
oleh pemerintah setempat. Padahal sudah sangat jelas, tanaman ini sangat
cocok di tanam di lahan kering seperti halnya NTT. Dia menilai
masyarakat dan pemerintah, bahkan selalu menyamakan panganan wajib itu
sama dengan beras. Padahal makanan pokok, yang selama ini dikonsumsi
orang Timor-Flores adalah ubi, keladi, jagung lokal, pisang dan sorgum.
“Sayangnya kebijakan pertanian yang sering diambil adalah berasinasi,
dan jagung hibrida yang tidak awet disimpan masyarakat. Jadi kini saya
bisa memahami kenapa sorgum kini sulit sekali didapat, saya tidak tahu
bagaimana cara berpikir pemerintah,” jelas Tata, lagi.
Kondisi yang digambarkan Tata adalah kenyataan yang kini dihadapi
para petani di sejumlah wilayah Indonesia. Terutama para petani di
daerah kering, pesisir dan kepulauan kecil seperti di wilayah
Timor-Flores dimana Tata tinggal. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
seringkali tidak bisa menangkap apa yang sesungguhnya dibutuhkan
masyarakat. Bantuan pertanian yang diberikan, misalnya, lebih
mengedepankan nilai proyek dibandingkan membangun kesinambungan
ketahanan pangan masyarakat setempat. Masalah ini pula mendapatkan
sorotan tajam dari Illyas Dg. Laja, dari Ikatan Petani Pengendali Hama
Terpadu Indonesia.
“Kebijakan pemerintah di pertanian memaksakan petani untuk menanam
komoditi ekspor yang karaktek tanamannya tidak sesuai dengan budaya,
geografis dan iklim di suatu wilayah. Kadang hal itu justru merusak
lingkungan dan mematikan karaktek petani setempat,” jelas Illyas dalam
salah satu acara talk show bertema, “Ketahanan Pangan dan Perubahan
Iklim,” yang juga menjadi salah satu menu dalam rangkaian kegiatan
tersebut.
Keluhan ini, kemudian dijawab oleh DR Ir Haryono MSc, Kepala Litbang
Departemen Pertania RI, selaku pembicara dalam talk show tersebut bahwa
pemerintah pusat tidak mempunyai wewenang dalam memcampuri kebijakan
Pemda. Pusat hanya lebih mefokuskan pada kebijakan swasembada beras
sebagai tanaman yang dipercaya menghasilkan makanan pokok bangsa ini,
sementara pada tanaman spesifik seperti halnya jagung dan lainnya,
termasuk sorgum, pengaturannya menjadi wewenang pemerintah daerah.
Kendati jelas soal ketahanan pangan di sebagian besar wilayah
Indonesia termasuk NTT, misalnya lebih disebabkan tidak tepatnya
kebijakan pertanian yang dikeluarkan, seringkali perubahan iklim menjadi
kambing hitam favorit untuk dipersalahkan atas terjadinya duduk
persoalan kerawanan pangan di suatu wilayah, seperti yang dialami NTT.
Nixon Balukh Sp, MSi, selaku Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, yang
juga menjadi pembicara dalam talk show tema yang sama menjelaskan, di
provinsinya kini tengah mengalami gagal tanam dan panen, yang memang
lebih banyak disebabkan adanya perubahan iklim.
Sebagai catatan saja, Provinsi NTT kini dikategorikan sebagai
provinsi rawan pangan yang parah. Dalam berita BBC Indonesia yang
dilansir baru-baru ini menyebutkan dalam satu atau dua bulan ke depan
10.000 di sembilan kabupaten provinsi ini akan mengalami kerawanan
pangan yang parah. Hal ini disebabkan para petani mengalami gagal tanam
dan panen karena musim tidak menentu. Berita lainnya yang dilansir Viva
news menyebutkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)
membangun kantor bupati baru senilai Rp33 miliar ketika puluhan ribu
warga yang menetap di 150 desa yang tersebar di 32 kecamatan dilaporkan
terancam rawan pangan serius.
Memperlihatkan keironian ini menjadi penting dalam melihat duduk
persoalan perubahan iklim dan masyarakat kecil yang terkena dampaknya.
Fenomena perubahan alam bernama perubahan iklim semakin memperparah
akumulasi persoalan soal ketahanan pangan yang lebih banyak disebabkan
salah urus dan tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan.
“Tanaman jagung hibrida yang sering disodorkan pemerintah kepada
para petani, misalnya, justru tidak bisa disimpan dalam waktu lama untuk
petani menghadapi musim paceklik, misalnya. Tidak seperti jagung-jagung
lokal, bahkan sorgum. Tapi hingga kini, saya masih sulit mendapatkan
bibit-bibit panganan lokal ini. Petugas PPL juga tidak aktif untuk
melakukan pembinaan kepada petani terkait dengan tanaman lokal. Makanya,
begitu saya mendapatkan beberapa bibit sorgum, saya menyimpan,
mengembangkan dan membudidayakannya. Saya juga menawarkan tetangga dan
petani lainnya di sekitar saya bibit-bibit sorgum yang saya miliki jika
mereka berminat menanamnya,” tandas Tata.
Contoh adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Maria Loretha alias
Tata, hanyalah satu dari sekian contoh yang telah dilakukan masyarakat
pulau-pulau kecil dan pesisir dalam menghadapi perubahan iklim. Tidak
semua petani di NTT bisa secerdas Tata yang berusaha mencari tahu
sendiri kebutuhan yang diminatinya, dan juga tentu saja punya modal
serta lahan yang baik. Sekarang ini Tata sibuk menularkan pengetahuannya
dalam bertanam sorgum ke sejumlah petani yang berminat menanam. Dia
bahkan dengan suka cita akan memberikan bibitnya secara gratis.
Selain
Tata, ada juga seorang guru muda, Murniadi SPd, asal Langkese, yang
mengajar di pulau kecil bernama Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu,
Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kendati dia bukanlah orang asli
pulau tersebut, namun melihat kondisi pesisir pulau ini yang mengalami
abrasi membuatnya cukup prihatin. Seperti halnya Tata, tanpa dibantu
siapa pun, Murni mulai berinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat. Dia memulai melalui muridnya. Sebagai catatan, di kepulauan
ini hanya ada sekitar 250-an murid SD dan SMP. Sementara gurunya hanya
ada enam orang dan kini ada tambahan dua lainnya di sana, termasuk
dirinya.
“Saya masuk ke pulau itu di tahun 2007. Niatnya hanya ingin mengajar
anak-anak itu, karena mereka butuh guru. Karena di pulau dan jauh, saya
dan kawan-kawan guru memang harus tinggal di sana. Saya sangat menyukai
pulau itu, sehingga setiap ada waktu, saya sempatkan keliling dari
pantai ke pantai. Pantai yang ada bakaunya begitu indah. Kondisinya jauh
lebih baik. Mudah sekali menemukan biotanya di sana. Tapi sebaliknya
pantai yang sudah kehilangan bakau makin tergerus ombak tiap kali musim
gelombang laut naik. Menurut cerita para orang tua di sana, dulu kawasan
pantai pulau ini memang dipenuhi pohon bakau. Mereka masih menemukan
burung-burung, monyet, kerang bakau, ikan. Masyarakat di sini juga di
sini tidak perlu khawatir kalau air laut mulai naik ke permukaan, “
jelas Murni.
Dari hasil “jalan-jalan” dan “ngobrol” dengan para ibu dan orang tua
di sana terkait dengan kondisi pantai di pulau itulah, membuatnya mulai
berpikir, dia harus melakukan sesuatu. Dia ingin yang memulai langkah
tersebut bukan dirinya, tapi anak-anak, murid-muridnya. Murni pun mulai
memasukkan muatan-muatan kesadaran tentang arti pentingnya hutan bakau
bagi kawasan pantai di kepulauan kepada murid-muridnya. Pada pelajaran
IPA, dia membawa muridnya ke lapangan. Dia meminta kepada para muridnya
memberikan catatan perbedaan kehidupan yang mereka temukan di pantai
yang banyak bakau dan pantai yang jarang tanaman bakau. Pelajaran Bahasa
Indonesia dia meminta kepada murid-muridnya untuk menuliskan hasil
pengamatannya tentang dua kondisi tersebut.
“Dari sana mereka mulai berpikir sendiri. Misalnya dia bilang ke
saya, Bu, ternyata kalau pantai kita ada mangrove sangat baik menjaga
lingkungan rumah kita dari abrasi pantai, atau kalau kita tanam bakau
pasti akan banyak kehidupan lagi yang tumbuh di pulau ini, sehingga bisa
dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Tanpa saya suruh dan minta, di
suatu hari Minggu pagi, mereka mengajak saya untuk menanam pohon bakau.
Bibitnya kami ambil dari pohon-pohon bakau sekitar pulau,” jelas Murni
yang berasal dari keluarga besar guru ini.
Hasilnya kini, wajah Tanakeke jauh lebih hijau, dan pantainya mulai
terjaga. Pohon-pohon bakau yang mereka tanam sejak 2007 kini bertumbuhan
dengan sangat baiknya. Murni selalu mengatakan itu adalah hasil ide,
kerja dan kepedulian para muridnya. Kini kegiatan menghidupkan kembali
bakau di kepulauan itu tidak hanya dilakukan oleh murid-murid Murni,
tapi hampir keseluruhan warga kepulauan tersebut, termasuk para ibu di
sana.
Kisah Murni, ini diminati sejumlah peserta yang saat itu berada dalam
bursa pembangunan. Sesi yang dia presentasikan bertema, “Aksi di
pesisir untuk keberlanjutan hidup.” Beberapa peserta lain menanyakan
proses-proses awal bagaimana Murni menemukan ide dan mengajak serta
masyarakat di sana, terutama anak-anak. Dia juga cukup mahir menjelaskan
tentang cara-cara menanam bakau yang baik dan benar.
Selain Murni dan Tata, ada Yosep Elsoin yang menceritakan tentang
kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Tanimbar Kei, satu-satunya
wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Hindu di Kawasan Timur
Indonesia. Di daerah ini terbentuk beberapa Kelompok Pelestari Kampung
yang bededikasi tinggi dalam melestarikan alam dan mendapat dukungan
penuh dari masyarakat dan juga para petinggi adat di sana. Perpaduan
aturan adat (dikenal dengan sebutan sasi) dan pendekatan adaptasi
membuat populasi Trochus di daerah itu meningkat tajam. Pemberdayaan
ekonomi alternatif di daerah ini seperti pengelolaan rumput laut, kini
mengalami banyak perkembangan. Di kampung Ohoiren, populasi biota laut
langka seperti sea cucumbers dan trochus turut meningkat dengan adanya
aturan adat atau sasi.
Berdekatan dengan Tanimbar ada Simon Morin di wilayah Meos
Mangguandi, sebuah kampung di Distrik Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak
Numfor, Papua adalah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat pesisir
di timur Indonesia yang hingga sekarang memegang teguh aturan-aturan
tersebut, yang juga dikenal sebagai Sasi. Sasi di wilayah ini digunakan
untuk menjaga ketersedian pasokan ikan dan juga melindungi beberapa
jenis ikan yang mulai jarang terlihat. Secara perlahan, perubahan
kualitas hidup terumbu karang di Kepulauan Padaido, khususnya di Meos
Mangguandi, mulai terlihat. Kini terumbu karang semakin ramai dihuni
oleh berbagai jenis ikan.
Sementara di Sulawesi Tengah, para peserta juga belajar dari Anwari
warga desa Togean, Kabupaten Tojo Unauna. Dia bersama Yayasan Palu Hijau
dan Sekolah Tinggi Perikanan Kelautan Palu, menginisiasi adanya
desalinisasi air laut menjadi air tawar. Kisah ini pun cukup diminati,
karena sebagian peserta juga tinggal di kepulauan yang jauh dari
daratan, dan masalah mendapatkan air bersih menjadi kendala utama dalam
menjalani keharian mereka.
Anwari menjelaskan, jauh sebelum dipasangnya demplot penelitian desalinasi air bersih oleh
Bappeda
Kabupaten Tojo Unauna pada tahun 2008, masyarakat Togean harus
menggunakan air hujan untuk kebutuhan MCK. Sementara untuk kepentingan
memasak dan minum mereka harus mendayung 4-6 jam ke pulau tetangga untuk
mendapatkan air bersih. Kecamatan Togean merupakan kepulauan dengan
luas 229,51 km2. Setidaknya ada 20 pulau kecil, terdiri dari 14 desa, 11
diantaranya berada di pesisir pantai. Masalah mendapatkan air bersih
adalah kendala utama bagi penduduk sekita terutama dusun Togean
tersebut.
Kini, meski masih dengan keterbatasan, sebuah wadah penampung air
laut yang telah ”menyulap” menjadi air tawar lewat proses desalinasi,
telah memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga desa yang dikelilingi
laut ini. Proses desalinisasi yang dimaksud adalah ada sebuah bak
penampung air laut, dengan penutup yang dibuat dari atap seng atau kaca
untuk memungkinkan terjadinya presipitasi. Hasilnya adalah gram dan
embun (air tawar). Sebuah wadah dengan luas penampang kaca 3,70 meter
persegi dapat menampung air laut sebanyak 675 liter. Air tawar yang
dihasilkan dalam kurun waktu 6 jam (jam 9 pagi hingga jam 3 petang)
adalah 37,5 liter. Siap melayani kebutuhan warga desa Togean.
Termasuk kisah-kisah masyarakat kepulauan Raja Ampat yang secara
kreatif menggunaka kapal yang diberinama Kalibia, guna menyebarkan
kesadaran dan pengetahuan tentang arti lingkungan yang baik bagi alam
sekitar dan manusa. Albert Nebore membawakannya secara menarik saat
membawakan sesi Kalabia : Melayarkan sumber pengetahuan dari pulau ke
pulau. Para peserta juga dibawa untuk bisa melihat kerja BMKB NTB dalam
melakukan sekolah lapang iklim untuk para petani sekitar. Sekolah ini
memadupadankan teknologi dan kearifan lokal dalam memperkirakan iklim
yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Di Sekolah Iklim para
petani belajar melihat tanda-tanda iklim dengan alat sederhana yang
dibuat. Setelah memperkirakan kecenderungan iklim yang akan terjadi di
beberapa bulan kemudian, para petani dibekali pengetahuan untuk
menentukan jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam. Banyak lagi
beberapa diskusi lainnya yang diikuti peserta dari awal hingga selesai.
Memberi pengetahuan solusi atas masalah
”Dari
hasil diskusi ini, jelas sekali di tataran komunitas lebih siap jika
kita mendengar upaya-upaya mereka sejauh ini. Contoh-contoh seperti ini
sebenarnya yang kita butuhkan untuk lesson and learn adaptasi perubahan
iklim di masyarakat, karena sejauh ini di Indonesia belum pernah banyak
menampilkan pengalaman-pengalaman cerdas yang solutif seperti yang
ditunjukkan dalam forum ini. Mudah-mudahan ini bisa membuka mata
berbagai pihak terutama pengambil kebijakan untuk meresponnya dengan
baik,” jelas Arif Muhammad, dari DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim).
Arif menambahkan pendekatan yang dilakukan dalam merespon kebutuhan
masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim tidak harus menggunakan
teknologi tinggi. Kearifan lokal dan juga upaya sederhana seperti yang
terungkap dalam forum bisa dijadikan media, dan pemerintah serta sektor
terkait diharapkan bisa meresponnya dengam cepat.
”DNPI sendiri telah melakukan berbagai macam kajian tentang
kerentanan dampak perubahan iklim di berbagai daerah di Indonesia.
Dokumennya sangat lengkap, dan kami selalu membaginya kepada Pemda yang
bersangkutan. Tapi soal adalah, bagaimana kemudian ini ditanggapi oleh
Pemda untuk menindaklanjutinya. Kebanyakan kadang hanya jadi dokumen,
karena dianggap tidak mempunyai nilai strategis untuk kepentingan
politik, atau alasan yang sering di dengar belum menjadi prioritas
utama, tau anggaran terbatas,” jelas Arif lagi.
Padahal upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, jelas Arif lagi
membutuhkan kerjasama yang kuat diantara sektor-sektor pembangunan.
Kedua upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang cukup besar.
Keterbatasan anggaran bisa diantisipasi melalui pengalokasian anggaran
oleh tiap sektro. Sektor yang dianggap berhubungan langsung dengan
dampak perubahan iklim misalnya, harus direspon dengan cepat. Dia juga
mengingatkan agar rantai birokrasi proses perumusan program dan strategi
implementasi bisa dipersingkat guna meredam atau mengurangi dampak
perubahan iklim.
Senada juga diungkapkan Ir. H. La Sara, Msi, Phd dari Sulawesi
Tenggara. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari pemerintah
terkadang hanya berbasis proyek dan bukan pada kesinambungan
keberlanjutan yang tuntas, baik yang dikonkretkan dalam sebuah kebijakan
yang dikeluarkan maupun dengan implementasinya.
”Tapi saya pikir, mempertemukan pihak-pihak dari berbagai unsur yang
berhubungan langsung dengan isu perubahan iklim sudah tepat. Saya pikir
ini menjadi langkah awal yang bagus dalam melihat duduk persoalan dampak
perubahan iklim di masyarakat pulau-pulau kecil ini lebih
konkret,”tandasnya.
Bagi La Sara yang juga anggota JIKTI dan juga akademisi, hasil
diskusi yang diikutinya jelas akan menjadi bahan yang berguna untuk bisa
disebar dan dibahas kembali bersama kolega akademisinya dan juga sesama
anggota JIKTI dari berbagai daerah di Indonesia Timur.
Lebih dari itu jika meminjam kata-kata dari Dr Ir Alex SW Retraubun,
MSc, Wakil Menteri Perindustrian RI/ SC diskusi regional FKTI ini, bahwa
masyarakat pulau-pulau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan
bangsa. Jadi seharusnya segala persoalan yang mengancam terhadap
kepulauan tersebut harus direspon secara serius. Apalagi perubahan iklim
jelas telah mengancam eksistensi hidup dan kehidupan masyarakat di
sana.
Acara ini terlaksana atas kerjasama:
Yayasan BaKTI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Dewan Nasional Perubahan Iklim dan KOMPAS.
dan didukung oleh:
AusAID, Pemerintah Provinsi NTB, NZAID, OXFAM dan USAID - IMACS
Source » http://www.wakrizki.net/2011/02/membuat-komentar-facebook-sederhana.html#ixzz1iqMzJQhE