gambar : pelitaonline.com |
Tudingan, cacian, bahkan makian bertubi-tubi dilemparkan pada wajah diplomasi kita yang dinilai lemah, menyusul kasus dengan Malaysia.Kasus ditukarnya tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ditangkap polisi Malaysia—yang menurut versi kita sedang bertugas di wilayah perairan nasional—dengan tujuh nelayan Malaysia yang ditangkap karena mencuri ikan di wilayah laut teritorial kita kemudian menimbulkan gelombang demonstrasi massa di kedua negara, disusul ketegangan diplomatik.
Secara historis, dengan Malaysia sudah sering terjadi sengketa diplomatik, terutama menyangkut masalah perbatasan, antara lain kasus Sipadan-Ligitan dan kasus Ambalat, serta klaim Malaysia atas kekayaan budaya kita sebagai milik mereka. Terkait ini, telah dilayangkan nota protes, tetapi tidak pernah ada respons diplomasi memadai.
Kasus diplomatik aktual lain terjadi dengan Australia menyangkut pencemaran Laut Timor. Dalam kasus ini pun telah dilayangkan nota protes, tetapi tampaknya tidak digubris sama sekali. Dengan demikian, cukup beralasan kalau publik menganggap diplomasi kita lemah atau tumpul. Sebagai bangsa besar, kita tak lagi punya pengaruh kuat di bidang diplomasi, bahkan kita telah kehilangan dignity. Dibandingkan era Pak Harto, apalagi Bung Karno, telah terjadi kemerosotan kemampuan diplomasi.
Masalah fundamental
Ada kaitan erat antara kekuatan diplomasi dan situasi di dalam negeri, terutama dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan negara. Kuatnya fungsi pertahanan akan memberikan kesempatan buat pengembangan fungsi kesejahteraan dan diplomasi, demikian sebaliknya. Kita dapat menakar bagaimana potret aktual kekuatan pertahanan dan kesejahteraan atau ekonomi kita, apakah cukup memiliki daya topang buat kuatnya diplomasi?
Dunia diplomatik sebenarnya hanya mencerminkan realitas aktual di dalam negeri. Sehebat apa pun kemampuan menteri luar negeri dan para diplomat, ketajaman daya diplomasinya akan sulit diwujudkan manakala situasi dalam negeri lemah. Harus jujur diakui, sesungguhnya kondisi dalam negeri kita amat memprihatinkan. Indonesia bangsa besar, tetapi ke dalam kita keropos karena kemiskinan, korupsi, tidak disiplin, etos kerja rendah, masyarakatnya rentan konflik, anarki, dan sebagainya. Karena itu, keluar citra kita sebagai bangsa menjadi buram, sering dilecehkan bangsa lain. Dalam keadaan seperti ini, sulit bagi Indonesia untuk memiliki kekuatan diplomasi.
Masalah fundamental lain yang mampu menopang kuatnya diplomasi adalah ”kepemimpinan”. Pada era Bung Karno, fundamental ekonomi kita dapat dikatakan jauh lebih lemah daripada sekarang. Namun, pada saat itu kita memiliki kekuatan pertahanan yang diperhitungkan di kawasan. Dari perspektif balance of power, postur militer kita yang terkuat di Asia Tenggara. Namun, lebih dari itu, kepemimpinan Bung Karno yang tegas berkarakter merupakan faktor kunci bagi kuatnya diplomasi.
Pak Harto pun memiliki kepemimpinan andal, beliau tampil menjadi pemimpin yang disegani di kawasan ASEAN, bahkan di dunia internasional. Suksesnya pemerintah memelihara stabilitas dalam negeri, terutama dalam mendongkrak kemampuan ekonomi pada saat itu, turut mendorong kuatnya diplomasi kita.
Langkah solusi
Pertama, dalam penyelesaian masalah diplomatik aktual dengan Malaysia, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah tegas dan konkret. Presiden harus mengambil alih kepemimpinan dan mengambil posisi terdepan dalam diplomasi. Dalam dunia militer masalah ini ibarat ”menghadapi situasi kritis”, di mana kehadiran komandan di depan merupakan solusinya. Dalam kasus aktual dengan Malaysia, tidak bisa lagi kebijakan dan langkah penanganan diserahkan kepada para pejabat kementerian yang justru saling menampik dan menyalahkan. Lemahnya koordinasi antarpejabat tinggi justru menguak kelemahan bangsa dan negara keluar. Saatnya Presiden sebagai kepala negara tampil menunjukkan kewibawaan bangsa, menunjukkan sikap dengan tak sekadar mengedepankan kesantunan berkata- kata, tetapi juga penuh ketegasan, kejelasan, ketajaman, dan kekuatan karakter.
Kedua, perlu dipertimbangkan pembentukan Komite Khusus Penanganan Masalah Perbatasan. Alasannya, ke depan, akan lebih banyak lagi masalah perbatasan terkait potensi ekonomi. Kita tidak hanya menghadapi Malaysia dalam klaim teritorial, tetapi juga Filipina, Vietnam, Singapura, Australia, dan Timor Leste. Ketiga, perlu sungguh-sungguh melakukan pembenahan di dalam negeri, terutama peningkatan kekuatan pertahanan, setidaknya pemerkuatan pengamanan di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Perlu percepatan untuk memodernisasi alutsista militer kita karena sudah tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga sehingga tidak lagi memancarkan deterrent power.
(Sumber : Kompas, 30 agustus 2010, Kiki Syahnakri Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat)