Isu sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia di Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat, akhir-akhir ini kembali memanas di media massa dan menaikkan sentimen anti-Malaysia di beberapa kota di Indonesia melalui aksi demonstrasi. Jika langkah penyelesaian tidak segera dilakukan, sengketa ini berpotensi merugikan kepentingan nasional Indonesia dan bisa merusak hubungan diplomatik kedua negara.
Sentimen tersebut setidaknya terlihat dari demo mahasiswa di Pontianak dan di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta yang membakar replika bendera Malaysia. Isu pencaplokan wilayah ini seolah mengorek kembali luka lama hubungan dua negara yang sempat bersitegang dalam kasus Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat. Jika isu ini merupakan fakta, Indonesia tentu dirugikan dengan kehilangan sejumlah wilayah yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membantu mensejahterakan masyarakat perbatasan. Jika pun ini hanya wacana seperti yang disampaikan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, langkah taktis tetap perlu dilakukan agar sentimen-sentimen negatif tidak semakin berkembang di masyarakat yang bisa menjatuhkan hubungan kedua negara yang saling bergantung ini. Pasalnya, munculnya isu ini telah berdampak pada terhambatnya akses warga Indonesia ke Malaysia di perbatasan tersebut, sehingga pemenuhan kebutuhan pokok yang biasanya didapat dari Serawak sempat terganggu. Lebih jauh lagi, sentimen ini bisa memberatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di Malaysia, sedangkan selama ini saja sebutan negatif “indon” telah cukup melecehkan dan membebani kehidupan mereka sehari-hari di negeri Jiran tersebut.
Masalah Perbatasan
Pada tahun 2009-2010, penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia (KKN-UI) di pulau-pulau terdepan dan perbatasan, tiga di antaranya perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Tanjung Datu, Entikong, dan Sebatik. Secara umum, ada dua masalah utama perbatasan Indonesia-Malaysia, yaitu masalah garis batas wilayah negara dan masalah kawasan perbatasan. Garis batas merujuk pada persoalan legal formal tentang titik-titik batas di lapangan yang menjadi pemisah kedaulatan kedua negara berdasarkan hukum internasional. Beberapa titik, terutama perbatasan laut, masih belum disepakati. Sementara itu,
titik-titik yang sudah disepakati pun kemudian bermasalah saat dilakukan penetapan patok-patok perbatasan di lapangan, belum lagi ketika patok batas yang sudah dibuat rusak, terkubur, atau hilang sama sekali. Dalam kasus perbatasan di Entikong, apresiasi kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) perlu diberikan karena mereka secara rutin membersihkan patok-patok batas tersebut sehingga tetap terpelihara, walaupun tidak semua daerah sepanjang perbatasan bisa dipantau oleh aparat secara kontinyu.
Masalah kedua, wilayah perbatasan, merujuk pada problematika masyarakat di wilayah perbatasan yang didominasi oleh minimnya infrastruktur dan rendahnya tingkat ekonomi warga. Untuk daerah lintas batas resmi seperti Pos Lintas Batas Entikong dan Badau infrastukturnya memang baik, tetapi untuk daerah-daerah pedesaan banyak yang tidak bisa dijangkau dengan jalur darat dan harus ditempuh dengan transportasi sungai yang mahal. Karena alasan ini pula lah, beberapa kepala desa di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia memilih untuk tinggal di kecamatan dan mengunjungi desanya hanya satu atau dua bulan sekali. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan surat-surat penting seperti Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga jadi tidak optimal. Selain itu, masyarakat perbatasan juga menghadapi rendahnya suplai barang kebutuhan pokok buatan Indonesia dan relatif lebih mahal dari barang buatan Malaysia, sehingga mau tak mau harus membeli barang-barang Malaysia dan menggunakan gabungan rupiah-ringgit sebagai alat pembayaran. Karena kawasan perbatasan tidak tertangani dengan baik, tidak heran jika beberapa Warga Negara Indonesia memilih untuk berpindah kewarganegaraan seperti yang terjadi di Desa Suruh Tembawang, Entikong pada beberapa tahun terakhir.
Solusi Perbatasan
Untuk mengatasi masalah perbatasan Indonesia-Malaysia, pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih karena dimensi yang terlibat cukup kompleks, seperti pertahanan-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Setidaknya ada dua solusi yang bisa ditawarkan. Untuk solusi masalah garis batas, Pemerintah Indonesia harus mempunyai posisi tawar yang kuat dalam melakukan perundingan dengan Malaysia. Berkaca pada pengalaman Sipadan-Ligitan, Indonesia harus sebisa mungkin melokalisir perundingan dalam pendekatan bilateral. Dilemanya, Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun 2011 pada kasus perbatasan Thailand-Kamboja justru menjadi fasilitator dalam perundingan yang bersifat regional. Artinya, Indonesia secara tidak langsung turut campur tangan, sehingga bukan tidak mungkin sengketa ini juga bisa dibawa ke tingkat ASEAN jika semakin membesar. Karena itu, sikap kukuh dan tegas Indonesia harus ditunjukkan, agar tidak ada peluang intervensi dari pihak luar, apalagi jika sampai dibawa ke Mahkamah Internasional.
Jika dilihat dari doktrin penguasaan efektif yang berkesinambungan seperti yang digunakan dalam kasus Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional, Malaysia selama ini mengelola wilayah perbatasan secara lebih baik dibanding Indonesia. Di perbatasan Kampung Tringgus Matan Nguan-Serawak dengan Kampung Badat Lama-Entikong misalnya, daerah pemukiman dan hutan di bagian Malaysia sudah difungsikan sebagai Community Based EcoTourism (CBET) bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) yang dilengkapi dengan infrastruktur jalan beraspal, sementara di bagian Indonesia tidak ada jejak administrasi yang tampak kecuali sebuah gedung Sekolah Dasar. Hal ini tentu bisa menguatkan posisi Malaysia jika wilayah perbatasan tersebut disengketakan dan dibawa ke Mahkamah Internasional.
Untuk masalah kawasan perbatasan, pemerintah Indonesia saat ini memiliki Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang mengoordinasikan kementerian-kementerian, provinsi-provinsi, dan lembaga-lembaga negara lain yang terkait untuk memajukan wilayah perbatasan. Mengingat masih mudanya usia BNPP yang baru berdiri pada tahun 2010, badan ini masih berfokus pada pembuatan grand design pengelolaan perbatasan 2011-2025, di samping kebijakan membuka pos-pos lintas batas tradisional dan pembuatan jalan nonstatus. Adapun pelaksana teknis dari kebijakan-kebijakan BNPP adalah kementerian, lembaga non-kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan atau kota. Efektivitas kerjanya akan sangat terkait dengan performa pelaksana teknisnya. Dengan demikian, selain penggabungan pendekatan keamanan dan kesejahteraan yang diterapkan melalui koordinasi BNPP, pelibatan unsur masyarakat menurut penulis juga mutlak diperlukan. Pemerintah harus menggandeng pengusaha-pengusaha lokal domestik untuk berinvestasi di daerah-daerah perbatasan yang memiliki sumber daya alam melimpah untuk dieksplorasi dan merekrut warga lokal. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mahasiswa juga perlu dilibatkan untuk melakukan program-program pemberdayaan masyarakat, sehingga warga perbatasan merasa diperhatikan pemerintah dan saudara sebangsa. Dengan demikian, mereka tetap merasa menjadi bagian dari bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis adalah alumnus Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Selama 2009-2010 terlibat dalam Kuliah Kerja Nyata UI di Pulau-Pulau Terdepan dan Perbatasan (Sabang, Tanjung Datu, Entikong, Sebatik, Miangas, Morotai, Befondi, Selaru, Rote, Merauke). Selama 2011 terlibat di tim penelitian Perbatasan (di Asia Tenggara) P2P LIPI. (Sandy Nur Ikfal Raharjo)
sumber : lipi
Sentimen tersebut setidaknya terlihat dari demo mahasiswa di Pontianak dan di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta yang membakar replika bendera Malaysia. Isu pencaplokan wilayah ini seolah mengorek kembali luka lama hubungan dua negara yang sempat bersitegang dalam kasus Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat. Jika isu ini merupakan fakta, Indonesia tentu dirugikan dengan kehilangan sejumlah wilayah yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membantu mensejahterakan masyarakat perbatasan. Jika pun ini hanya wacana seperti yang disampaikan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, langkah taktis tetap perlu dilakukan agar sentimen-sentimen negatif tidak semakin berkembang di masyarakat yang bisa menjatuhkan hubungan kedua negara yang saling bergantung ini. Pasalnya, munculnya isu ini telah berdampak pada terhambatnya akses warga Indonesia ke Malaysia di perbatasan tersebut, sehingga pemenuhan kebutuhan pokok yang biasanya didapat dari Serawak sempat terganggu. Lebih jauh lagi, sentimen ini bisa memberatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di Malaysia, sedangkan selama ini saja sebutan negatif “indon” telah cukup melecehkan dan membebani kehidupan mereka sehari-hari di negeri Jiran tersebut.
Masalah Perbatasan
Pada tahun 2009-2010, penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia (KKN-UI) di pulau-pulau terdepan dan perbatasan, tiga di antaranya perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Tanjung Datu, Entikong, dan Sebatik. Secara umum, ada dua masalah utama perbatasan Indonesia-Malaysia, yaitu masalah garis batas wilayah negara dan masalah kawasan perbatasan. Garis batas merujuk pada persoalan legal formal tentang titik-titik batas di lapangan yang menjadi pemisah kedaulatan kedua negara berdasarkan hukum internasional. Beberapa titik, terutama perbatasan laut, masih belum disepakati. Sementara itu,
titik-titik yang sudah disepakati pun kemudian bermasalah saat dilakukan penetapan patok-patok perbatasan di lapangan, belum lagi ketika patok batas yang sudah dibuat rusak, terkubur, atau hilang sama sekali. Dalam kasus perbatasan di Entikong, apresiasi kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) perlu diberikan karena mereka secara rutin membersihkan patok-patok batas tersebut sehingga tetap terpelihara, walaupun tidak semua daerah sepanjang perbatasan bisa dipantau oleh aparat secara kontinyu.
Masalah kedua, wilayah perbatasan, merujuk pada problematika masyarakat di wilayah perbatasan yang didominasi oleh minimnya infrastruktur dan rendahnya tingkat ekonomi warga. Untuk daerah lintas batas resmi seperti Pos Lintas Batas Entikong dan Badau infrastukturnya memang baik, tetapi untuk daerah-daerah pedesaan banyak yang tidak bisa dijangkau dengan jalur darat dan harus ditempuh dengan transportasi sungai yang mahal. Karena alasan ini pula lah, beberapa kepala desa di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia memilih untuk tinggal di kecamatan dan mengunjungi desanya hanya satu atau dua bulan sekali. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan surat-surat penting seperti Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga jadi tidak optimal. Selain itu, masyarakat perbatasan juga menghadapi rendahnya suplai barang kebutuhan pokok buatan Indonesia dan relatif lebih mahal dari barang buatan Malaysia, sehingga mau tak mau harus membeli barang-barang Malaysia dan menggunakan gabungan rupiah-ringgit sebagai alat pembayaran. Karena kawasan perbatasan tidak tertangani dengan baik, tidak heran jika beberapa Warga Negara Indonesia memilih untuk berpindah kewarganegaraan seperti yang terjadi di Desa Suruh Tembawang, Entikong pada beberapa tahun terakhir.
Solusi Perbatasan
Untuk mengatasi masalah perbatasan Indonesia-Malaysia, pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih karena dimensi yang terlibat cukup kompleks, seperti pertahanan-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Setidaknya ada dua solusi yang bisa ditawarkan. Untuk solusi masalah garis batas, Pemerintah Indonesia harus mempunyai posisi tawar yang kuat dalam melakukan perundingan dengan Malaysia. Berkaca pada pengalaman Sipadan-Ligitan, Indonesia harus sebisa mungkin melokalisir perundingan dalam pendekatan bilateral. Dilemanya, Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun 2011 pada kasus perbatasan Thailand-Kamboja justru menjadi fasilitator dalam perundingan yang bersifat regional. Artinya, Indonesia secara tidak langsung turut campur tangan, sehingga bukan tidak mungkin sengketa ini juga bisa dibawa ke tingkat ASEAN jika semakin membesar. Karena itu, sikap kukuh dan tegas Indonesia harus ditunjukkan, agar tidak ada peluang intervensi dari pihak luar, apalagi jika sampai dibawa ke Mahkamah Internasional.
Jika dilihat dari doktrin penguasaan efektif yang berkesinambungan seperti yang digunakan dalam kasus Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional, Malaysia selama ini mengelola wilayah perbatasan secara lebih baik dibanding Indonesia. Di perbatasan Kampung Tringgus Matan Nguan-Serawak dengan Kampung Badat Lama-Entikong misalnya, daerah pemukiman dan hutan di bagian Malaysia sudah difungsikan sebagai Community Based EcoTourism (CBET) bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) yang dilengkapi dengan infrastruktur jalan beraspal, sementara di bagian Indonesia tidak ada jejak administrasi yang tampak kecuali sebuah gedung Sekolah Dasar. Hal ini tentu bisa menguatkan posisi Malaysia jika wilayah perbatasan tersebut disengketakan dan dibawa ke Mahkamah Internasional.
Untuk masalah kawasan perbatasan, pemerintah Indonesia saat ini memiliki Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang mengoordinasikan kementerian-kementerian, provinsi-provinsi, dan lembaga-lembaga negara lain yang terkait untuk memajukan wilayah perbatasan. Mengingat masih mudanya usia BNPP yang baru berdiri pada tahun 2010, badan ini masih berfokus pada pembuatan grand design pengelolaan perbatasan 2011-2025, di samping kebijakan membuka pos-pos lintas batas tradisional dan pembuatan jalan nonstatus. Adapun pelaksana teknis dari kebijakan-kebijakan BNPP adalah kementerian, lembaga non-kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan atau kota. Efektivitas kerjanya akan sangat terkait dengan performa pelaksana teknisnya. Dengan demikian, selain penggabungan pendekatan keamanan dan kesejahteraan yang diterapkan melalui koordinasi BNPP, pelibatan unsur masyarakat menurut penulis juga mutlak diperlukan. Pemerintah harus menggandeng pengusaha-pengusaha lokal domestik untuk berinvestasi di daerah-daerah perbatasan yang memiliki sumber daya alam melimpah untuk dieksplorasi dan merekrut warga lokal. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mahasiswa juga perlu dilibatkan untuk melakukan program-program pemberdayaan masyarakat, sehingga warga perbatasan merasa diperhatikan pemerintah dan saudara sebangsa. Dengan demikian, mereka tetap merasa menjadi bagian dari bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis adalah alumnus Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Selama 2009-2010 terlibat dalam Kuliah Kerja Nyata UI di Pulau-Pulau Terdepan dan Perbatasan (Sabang, Tanjung Datu, Entikong, Sebatik, Miangas, Morotai, Befondi, Selaru, Rote, Merauke). Selama 2011 terlibat di tim penelitian Perbatasan (di Asia Tenggara) P2P LIPI. (Sandy Nur Ikfal Raharjo)
sumber : lipi