Namanya belum banyak dikenal sebelum Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Mohammad Nuh, memberinya gelar Anugerah Peduli Pendidikan tanggal 12 Desember 2011 lalu. Johanes Barnabas Ndolu, seorang kepala suku (maneleo) Leo Kunak di Pulau Rote, tak pernah membayangkan bisa memperoleh penghargaan tersebut. Pria berumur 48 tahun yang akrab dipanggil John Ndolu itu dinilai memiliki kepedulian terhadap pendidikan di Kabupaten Rote Ndao, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Berkat pemikiran dan kerja kerasnya, kini John Ndolu telah memajukan pendidikan di pulau paling Selatan dari wilayah Indonesia itu.
Seperti umumnya di wilayah Timur Indonesia, di Pulau Rote juga ada tradisi pesta berhari-hari ketika ada yang menikah atau ada yang meninggal dunia. Pesta besar-besaran itu bisa menghabiskan dana mencapai ratusan juta rupiah untuk membeli beberapa kerbau/sapi yang akan dihidangkan selama berhari-hari. Meskipun sangat mahal, orang-orang rela menjual harta bendanya untuk menggelar pesta akbar itu demi menjaga nama keluarga besarnya. John Ndolu muda mulai berpikir bahwa apa yang dilakukan orang di Pulau Rote itu harus diubah. Menurut John Nd0lu, adat-istiadat harus dilestarikan namun sebaiknya tidak membelenggu masyarakatnya. John Ndolu merasa miris melihat orang-orang berjuang sekuat tenaga untuk menggelar pesta namun berat hati untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Sejak dikukuhkan sebagai seorang maneleo (kepala suku) pada 7 Juli 2003, John Ndolu mulai mewujudkan gagasannya untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. John Ndolu yang menjadi fasilitator pengembangan masyarakat Yayasan Wahana Visi Indonesia itu mulai memaparkan kondisi pendidikan di Pulau Rote. Faktanya, 50 persen penduduk Pulau Rote tidak bersekolah dan 11 persen dari seluruh penduduk Pulau Rote buta huruf. John Ndolu kemudian mengumpulkan semua tokoh adat di Pulau Rote untuk mensosialisasikan rencananya. John Ndolu ingin mengubah tradisi tu’u (semacam arisan) menjadi dana pendidikan bagi anak-anak Pulau Rote yang ingin melanjutkan kuliahnya.
Tradisi tu’u digelar dalam setiap pesta, di mana tamu yang datang harus mengisi daftar hadir dan jumlah dana yang akan disumbangkan untuk pesta selanjutnya. Ide John Ndolu ditentang banyak orang karena John Ndolu dinilai ingin menghapuskan adat istiadat, bahkan beliau dikucilkan oleh saudaranya sendiri karena gagasannya itu. Bertahun-tahun John Ndolu menjelaskan kepada semua orang bahwa ia tak akan menghapuskan tradisi tu’u, tapi hanya menghilangkan kebiasaan pesta-poranya saja. Akhirnya 19 kepala suku di Pulau Rote menyetujui rencana John Ndolu untuk mengurangi pesta pora dalam pesta dan menyisihkan dananya untuk tu’u pendidikan (arisan pendidikan). Semua kepala suku di Pulau Rote juga sepakat untuk menggelar pesta pernikahan dengan dana di bawah 10 juta rupiah dan hanya memotong satu ekor kerbau/sapi untuk upacara kematian.
Berkat pemangkasan dana penyelenggaraan pesta tersebut, masyarakat bisa menyumbangkan tu’u pendidikan bagi anak-anak Pulau Rote yang hendak kuliah. Dalam tu’u pendidikan, semua orang bisa menyumbang sesuai kemampuan masing-masing. Dana yang terkumpul kemudian diserahkan kepada anak-anak yang pantas menerimanya. Sejak tahun 2006, dana tu’u pendidikan telah digunakan untuk membantu 50 anak Pulau Rote dalam menempuh kuliahnya. Uniknya meskipun anak-anak Pulau Rote itu tidak diwajibkan kembali ke kampung halaman, setelah lulus kebanyakan dari mereka kembali dan bekerja di Pulau Rote. Mungkin karena merasa memiliki utang budi, mereka kemudian kembali ke Pulau Rote dan bekerja sebagai camat, guru, dan lain-lain.
Berkat John Ndolu dan seluruh masyarakat Pulau Rote, kini anak-anak Pulau Rote bisa mengecap pendidikan yang lebih baik.
Sumber : http://giewahyudi.com/john-ndolu-pahlawan-pendidikan-dari-pulau-rote/