RI-Tomor Leste : Kopral Jadi Hakim



 

M. Rizal – detikNews
 
Belu – Bertugas di perbatasan Timor Leste, personel TNI harus siap sewaktu-waktu menjadi apa saja. Mereka tidak hanya bertugas menjadi penjaga perbatasan, tapi juga harus bisa menjadi penyuluh pertanian, guru bahkan juga menjadi seorang hakim.

Masyarakat di sepanjang wilayah perbatasan RI-Timor Leste sering terlibat perkelahian atau konflik. Bila tidak diselesaikan bisa-bisa konflik ini berujung menjadi persoalan nasional atau bahkan internasional.

Hanya saja, banyak persoalan-persoalan konflik baik menyangkut persoalan keluarga, antar warga kampung yang harus diselesaikan melalui hukum adat. Tak jarang, penduduk meminta petugas penjaga perbatasan seperti pasukan TNI untuk menjadi penengahnya. Warga memilih mendatangi pos-pos TNI karena sangat jauh bila harus kantor kelurahan, kantor polisi apalagi pengadilan.

“Bayangkan saja, Mas. Di pos kita yang pangkatnya Kopral selain harus menjaga garis batas, mengamankan patok perbatasan, ya harus mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi di sana. Bahkan, harus menjadi seorang hakim, menengahi persengketaan yang timbul di antara warga itu,” ungkap Perwira Operasi Satgas Pamtas RI-RDTL Letnan Satu Infanteri Ferry Perbawa kepada detik+.

Biasanya kalau ada konflik, anggota TNI yang diminta menyelesaikan persoalan, juga meminta para tokoh kampung dan kepala desa serta keluarga yang bersengketa berkumpul bersama. Konflik biasanya mulai dari hal sepele seperti soal utang piutang, hewan ternak yang menyeberang ke pekarangan tetangga dan persoalan anak.

Sidang disaksikan Ketua Adat Kampung, Kepala Desa, dan dua kelompok yang sengketa. Personel TNI yang bertugas sebagai ‘hakim’ lantas menanyakan apa persoalannya. Lalu menerangkan mana yang salah mana yang benar. Kalau sudah paham lalu ada saling pengertian dan kadang juga ada yang harus bayar denda atau sebagainya.

Sesuai adat di wilayah NTT termasuk di wilayah perbatasan, denda adat yang harus dibayarkan tergantung kesalahannya, apakah berat, sedang atau ringan. Biasanya denda berupa beberapa hewan ternak seperti sapi, kerbau atau sapi, sejumlah uang dan juga sopi (minuman khas NTT).

“Nah, kadang kita sendiri yang pendatang bingung dengan adat masyarakat di sini. Mereka mengumpulkan harta itu ya untuk urusan adat, bukan berupaya mencerdaskan anak-cucunya dengan pendidikan atau pengembangan usaha,” terang Ferry sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Memang tidak sedikit kaum pendatang melihat adat istiadat justru membuat warga perbatasan menjadi miskin. Warga sebenarnya memiliki kekayaan yang berupa hewan peliharaan. Tapi hewan peliharaan ini biasanya habis bukan untuk biaya pendidikan ataupun modal usaha. Sering kali semua habis untuk kepentingan adat istiadat seperti pernikahan, prosesi upacara bila ada sanak keluarga yang meninggal dunia, dan termasuk berjudi.

Untuk pernikahan, misalnya, masyarakat sekitar Pulau Timor yang mendapatkan pasangan wanita asal Rote (Pulau Rote yang berhadapan dengan Kupang), harus membayar ‘belis’ semacam mahar atau ganti rugi. Belisnya sangat besar.

“Tujuh sapi, uang Rp 7 juta, 7 babi, 7 krat Sopi (semacam minuman keras tradisional setempat), itu yang harus dibayar,” jelas Jessy.

Oleh karena itu, kehadiran Satgas Pamtas RI-RDTL selain menjaga keamanan wilayah, juga tugasnya memberikan sosialisasi banyak hal kepada masyarakat. Sosialisasi mulai dari mengajarkan lagu-lagu perjuangan, memberi tahu penyelundupan itu melanggar hukum juga sampai mengajari mereka bercocok tanam yang baik.

Komandan Kompi III Satgas Pamtas, Letnan Satu Infanteri SM Rori menuturkan, sejak tahun 1975 ketika Timor Timur menjadi wilayah Indonesia, sampai mereka pisah tahun 1999, lalu sampai sekarang, di wilayah perbatasan tidak pernah dilakukan upacara HUT RI setiap tanggal 17 Agustusan. “Baru tahun 2011 kemarin saja sekolah-sekolah kita beri tahu dan melaksanakan perayaan HUT RI dan mengibarkan Merah Putih,” terang Rori.

Rori mengatakan, biasanya setiap tanggal 17 Agustus hanya perwakilan-perwakilan kepala kampung atau adat saja yang diajak berkumpul di kantor kecamatan untuk merayakannya. Alexander Turi, warga Silawan juga mengakui hal itu, karena persoalan begitu jauhnya untuk mencapai kantor kecamatan jarang yang mengikutinya juga.

“Kenapa selama ini sejak tahun 1975 sampai kemarin (2010) kita tidak merayakan HUT RI setiap 17 Agustus, penduduk selalu bilang, ‘Ya yang merdeka itu kan hanya Jawa saja’. Tapi baru kemarin kita adakan peringatan HUT RI dengan upacara, perlombaan-perlombaan mulai dari sepakbola sampai permainan lainnya. Hampir semua warga mengikuti upacara ini,” terang Alexander, yang menjadi penjaga SD Katolik Nanaeklot, Silawan, Kabupaten Belu ini.

Dari pantuan detik+, kebanyakan anak-anak sekolah di wilayah perbatasan bahkan tidak begitu mengerti tentang lagu-lagu perjuangan. Bahkan seorang prajurit TNI yang menjadi relawan mengajar di sejumlah sekolah sampai-sampai geleng-geleng kepala.

“Lagu Indonesia Raya saja mereka tidak hapal. Makanya kita pelan-pelan ajari mereka. Ini saudara kita semua. Sekarang alhamdulillah sudah bisa semua, walau kadang sering lupa juga,” kata Sersan Chandra, seorang bintara komunikasi di Kompi III Satgas Pamtas, Yonif 743/PYS ini.
(zal/fay)

sumber : jakarta45.blogspot.com 

Leave a Reply